Showing posts with label Pemikiran Politik Barat. Show all posts
Showing posts with label Pemikiran Politik Barat. Show all posts

Saturday, October 21, 2017

Pemikiran Politik John Calvin (Calvinisme)

John Calvin lahir di Noyon, Picardy, Perancis tahun 1509 yang merupakan tokoh reformasi Protestan. Saat lahir ia berkewarganegaraan Perancis, tetapi sebagian besar hidupnya dihabiskan di Switzerland. Ibunya wafat ketika ia masih kecil. Ayahnya kurang suka terhadap anak-anak, kemudian mengirimkan Calvin kepada temannya yang seorang bangsawan. Calvin menimba ilmu pendidikan di universitas Paris serta mendalami kajian hukum di Orleans yang merupakan tempat dimana ia dipengaruhi pengikut Luther.

Pada usia 25 tahun (1534) ia pergi ke Switzerland, tinggal di Bosel lalu kemudian menetap di Genewa. Pada tahun 1541 ia mulai aktif  sebagai penginjil. Calvin meninggal pada tahun 1564, pada usia 59 tahun akibat penyakit asma dan dyspepsia (gangguan pencernaan) yang dideritanya.

Calvin telah menaruh dasar-dasar teologis, filosofis dan intelektual yang kokoh bagi keberhasilan gerakan reformasi Protestan dan Eropa. Calvinisme sangat berpengaruh terhadap perjalanan sejarah Eropa modern. Calvin merupakan salah satu fondasi doktrinal terpenting kemajuan peradaban kapitalis Eropa di abad modern.

Pemikiran John Calvin menjadi basis teologis tentang takdir (predestination). Menurut Calvin takdir manusia telah ditentukan oleh Tuhan. Siapa pun tidak dapat mengubahnya, bahkan pastor sekalipun. Nasib manusia sepenuhnya ditentukan oleh ibadahnya dan Tuhan. Menurut Calvin, manusia tidak lebih hanya wayang dalam kehidupannya di dunia ini. Tuhanlah yang menjadi dalangnya.

Doktrin takdir John Calvin ini  hamper memiliki banyak kesamaan dengan konsep takdir Augustinus, yang memiliki asumsi dasar bahwa semua manusia berdosa itu akibat kejatuhan dosa Adam. Menurutnya, adanya ‘dosa warisan’. Menurut doktrinnya, semua manusia berdosa secara alamiah. Manusia telah terkutuk semenjak lahir. Meski demikian, menurut Calvin manusia bisa saja selamat seandainya mendapat rahmat Tuhan (Grace Of God). Manusia selalu dituntut untuk selalu berbuat amal baik dan hidup asketis demi keagungan Tuhan.

Manusia juga dituntut untuk berjuang tanpa henti untuk melawan nafsu hewaninya. Calvin mengingatkan bukanlah untuk menjadi monastic (jadi biarawan/biarawati). Ujian keselamatan selalu ada setiap hari, Calvin mengingatkan agar manusia memiliki kemampuan untuk menghadapi ujian hidup setiap saat.

Asketisme Protestan Calvin selalu mengajarkan orang perlu kaya dan tidak harus takut terhadap kekayaan. Kekayaan itu sendiri tidaklah mengakibatkan dosa bagi pemiliknya, yang menimbulkan dosa adalah apabila kekayaan itu diperoleh dengan cara yang haram, digunakan untuk foya-foya dan senang-senang. Menurut Calvin juga, sumber segala dosa adalah perbuatan menyia-nyiakan waktu. Calvin anti sakramen suci. Sakramen-sakramen suci dalam katolisme menurut doktrin takdir Calvin tidak bisa memberi keselamatan. Sebab doktrin anti sakramen ini telah menghapus berbagai kepercayaan magis dan mitos-mitos keagamaan yang berlangsung selama beberapa abad. Weber berpendapat bahwa doktrin anti sakramen Calvin jauh lebih memperkuat semangat individualisme. Kaum puritan pun menolak semua upacara keagamaan di kuburan; mengubur orang yang dicintai tanpa lagu-lagu pujian dan sakramen penyelamatan. Manusia diposisikan bisa langsung berhadapan dengan Tuhan tanpa perantaraan gereja atau pemuka agama. Ajaran Calvinisme hampir mirip dengan Lutheranisme terutama tentang doktrin asketisme duniawi, anti sakramen suci dan monoteisme menunjukan pengaruh Luther terhadap Calvin. Lalu yang kedua Calvin mendapat inspirasi ajarannya ini dari Nabi-nabi Hebrew dan alkitab, serta ada hipotesis yang menyebutkan sumber –sumber ajaran Islam. Menurut Nurcholis Madjid, pemikiran Islam telah lama msuk ke Eropa seperti Jerman, terbukti adanya banyak tulisan Goethe.

Bukti lainnya terlihat dalam doktrin takdir Calvin. Tentang rahmat Tuhan dalam kaitannya yang mengajarkan bahwa nasib manusia telah ditentukan Tuhan. Jika orang yang telah mati masuk surga karena   Tuhan, bukan semata-mata karena kebajikannya. Maka manusia harus percaya takdir Tuhan. Ia juga harus bekerja keras. Calvin mengembangkan etika Protestan yang digunakan dasar timbulnya kapitalisme. Dalam agama protestan Calvin muncul ajaran bahwa seseorang sudah ditakdirkan sebelumnya untuk masuk ke surga atau neraka. Orang tidak mengetahui akan hal ini. Manusia menjadi cemas dan tidak senang akan ketidakjelasan nasibnya.

Salah satu cara untuk mengetahui apakah mereka akan masuk surga atau neraka adalah tergantung dari hasil kerjanya di dunia ini. Kalau seseorang berhasil dalam kerjanya di dunia ini maka hampir dapat dipastikan ia akan masuk surga setelah mati nanti. Namun sebaliknya, apabila kerjanya gagal selama di dunia, maka dapat dipastikan bahwa dia akan masuk neraka. Karena adanya kepercayaan ini membuat para penganut agama Protestan Calvin bekerja keras untuk meraih kesuksesan. Mereka bekerja tanpa pamrih, artinya mereka bekerja bukan untuk mengumpulkan material, melainkan terutama untuk mengatasi kecemasan. Oleh Weber disebut sebagai Etika Protestan.

orang –orang ini pun akan menjadi kaya karena keberhasilannya, tetapi ini adalah produk sampingan yang tidak disengaja. Mereka bekerja keras untuk pengabdian agama mereka, bukan untuk mengumpulkan harta. Namun, kemudian hal ini menjadi faktor sebaliknya. Etika protestan inilah yang menjadi faktor utama bagi munculnya kapitalisme di Eropa. Calvinisme kemudian menyebar ke Amerika Serikat dan di sana pun berkembang kapitalisme yang sukses. Ajaran Calvin ini kemudian diteliti Weber dalam studi pertamanya yang meneliti hubungan antara agama dan pertumbuhan ekonomi.

Gerakan reformasi protestan Luther dan Calvin menyebabkan dampak sosial politik terhadap Eropa dan negara-negara Barat pada umumnya. Reformasi Protestan mengakibatkan tercabik-cabiknya Western Christendom menjadi negara-negara nasional kecil tanpa memiliki ‘pusat kekuasaan’ atau ‘gembala politik’ seperti lembaga kepausan Roma.

Gerakan reformasi menumbuhkan benih-benih gerakan demokratisasi politik. Gerakan reformasi telah menumbuhkan kesadaran individual akan pentingnya hak-hak politik dan kebebasan individu.  Dapat dikatakan reformasi ini merupakan awal lahirnya gagasan demokrasi yang dijiwai oleh etika-etika dan nilai-nilai keagamaan. Reformasi ini juga bertanggung jawab terhadap intoleransi dan perang-perang saudara dan agama di barat yang berlangsung selama berabad-abad. Pertikaian penganut Calvinisme dan katolik  menyebabkan timbulnya gerakan anti historical christianity agama kristen yang termanifestasi oleh sejarah). Akibatnya jadi bnayak karya seni, patung, lukisan yang berbau katolisme dihancurkan oleh kaum protestan atas nama Tuhan dan agama. Reformasi ini mengakitkan terbelahnya agama Kristen menjadi sekte-sekte kecil; Lutherisme, Calvinisme, Angelicaisme, Quakerisme, Katholikisme. Skotlandia, Belanda, Switzerland dan Perancis menganut Calvinisme, sedangkan negara Eropa yang lainnya seperti Spanyol dan Italia tetap menganut katolisme (Ortodoks).

Tuesday, February 14, 2017

Teori Hegemoni Gramsci

Memahami teori Gramsci mengharuskan kita untuk mereview argumen-argumen dan asumsi-asumsi dasar Marxist. Buah pikir Gramsci dipengaruhi oleh dasar pemikiran Karl Marx mengenai :

determinasi ekonomi

Segala sesuatu dalam kehidupan ditentukan oleh KAPITAL. Perputaran uang mempengaruhi hubungan kita dengan orang-orang di sekeliling kita, alam dan juga dunia kita. Pikiran dan tujuan kita adalah produk dari stuktur properti. Setiap aktivitas kultural (kultur dalam tataran luas) diturunkan pada konten ekonomi yang mengkontrol atau yang mendahului secara langsung atau tidak langsung. Lelaki, contohnya, mereka menemukan diri mereka terlahir dalam sebuah proses independen atas keinginan mereka. Mereka tidak bisa mengkontrol itu, mereka hanya bisa mencari jawaban untuk semakin mengerti kondisi tersebut dan mencari arahan bagaimana mereka harus bertingkah laku sepantasnya.

“In the social production of their life, men enter into definite relations that are indispensable and independent of their will; these relations of production correspond to a definite stage of development of their material forces of production. The sum total of these relations of production constitutes the economic structure of society – the real foundation, on which rises a legal and political superstructure and to which correspond definite forms of social consciousness. The mode of production of material life determines the social, political and intellectual life process in general. It is not the consciousness of men that determines their being, but, on the contrary, their social being that determines their consciousness. At a certain stage of their development, the material productive forces in society come in conflict with the existing relations of production, or – what is but a legal expression for the same thing – with the property relations within which they have been at work before. From forms of development of the productive forces these relations turn into fetters. Then begins an epoch of social revolution. With the change of the economic foundation the entire immense superstructure is more or less rapidly transformed. In considering such transformations a distinction should always be made between the material transformation of the economic conditions of production, which can be determined with the precision of natural science, and the legal, political, religious, aesthetic or philosophic – in short, ideological forms in which men become conscious of this conflict and fight it out. Just as our opinion of an individual is not based on what he thinks of himself, so we can not judge of such a period of transformation by its own consciousness; on the contrary, this consciousness must be explained rather from the contradictions of material life, from the existing conflict between the social productive forces and the relations of production. No social order ever disappears before all the productive forces for which there is room in it have been developed; and new, higher relations of production never appear before the material conditions of their existence have matured in the womb of the old society itself. Therefore, mankind always sets itself only such tasks as it can solve; since, looking at the matter more closely, we will always find that the task itself arises only when the material conditions necessary for its solution already exist or are at least in the process of formation. In broad outlines we can designate the Asiatic, the ancient, the feudal, and the modern bourgeois modes of production as so many progressive epochs in the economic formation of society. The bourgeois relations of production are the last antagonistic form of the social process of production – antagonistic not in the sense of individual antagonism, but of one arising from the social conditions of life of the individuals; at the same time the productive forces developing in the womb of bourgeois society create the material conditions for the solution of that anatgonism. This social formation constitutes, therefore, the closing chapter of the prehistoric stage of human society.” (Preface to ‘A Contribution to the Critique of Political Economy’ (1859))

pertentangan kelas

“The history of all hitherto existing society is the history of class struggles.”- (The Communist Manifesto, Chapter 1)
Kedinamisan masyarakat hanya dapat dimengerti dalam sistem dimana ide-ide yang mendominasi diformulasikan oleh kelas yang memerintah untuk mengamankan kontrol kelas pekerja. Kemudian kedinamisan ini tentunya akan mencoba untuk mengubah situasi ini (melalui revolusi). Mereka akan memproduksi ide-ide mereka sendiri seperti industri dan organisasi politik mereka sendiri.

base / super structure – dasar / struktur super

konsep determinasi ekonomi Marx membagi masyarakat menjadi 2 lapisan: “base” dan “superstructure”. Lapisan “base” mempunyai komposisi produksi material, uang, objek, hubungan dengan produksi dan kekuatan produktif. Dunia nyata, ditambah dengan hubungan ekonomi yang membangkitkan kapital. Lapisan kedua, “superstructure”, ditentukan oleh institusi politis ideologis, hubungan sosial kita, seperangkat ide, budaya, harapan, mimpi dan semangat kita. Dunia jiwa dibentuk oleh kapital.

Menurut Marx, kita dapat mengerti “super strusktur” melalu tiga pengertian:
  • ekspresi legal dan politis yang mengekspose hubungan produksi yang nyata ada.
  • Bentuk kesadaran yang mengekspresikan pandangan kelas tertentu tentang dunia
  • proses dimana masyarakat menjadi sadar akan konflik ekonomi fundamental dan melawannya.

Secara umum, Marx dipercaya bahwa Marx memproposisikan hubungan “satu arah” antara ekonomi (bawah) dan ide-ide (atas) sebagai sistem yang kaku dan kejam. Namun fakta ini tidak begitu jelas terkupas dalam buku Marx maupun Engel.


Gramsci dan Konsep Hegemoni

Gramsci adalah orang yang mulai menyadari mengapa kelas pekerja tidak lah harus menempuh jalan revolusioner, mengapa malah memberi jalan pada fasisme (Gitlin, 1994:516) Pada saat itu fasisme bangkit dan Gramsci mengamati kegagalan pergerakan kelas pekerja Eropa Barat [pada akhir tahun 20an dan 30an]. Gramsci memperhatikan penghapusan determinisme ekonomi dari Marxisme dan juga membangun kekuatan yang mempunyai tanggung jawab pada institusi superstruktural. Sehingga ia berpegangan pada bahwa pertarungan kelas harus selalu melibatkan ide-ide dan ideologi-ideologi. Ide-ide yang akan membuat revolusi dan juga yang akan mencegahnya.

Gramsci menekankan pada peran yang dilakukan oleh agen manusia dalam perubahan sejarah, krisis ekonomi dengan sendirinya tidak akan menumbangkan kapitalisme.

Gramsci lebih “dialektik” dari pada “deterministik”; ia mencoba untuk membangun sebuah teori yang dikenal sebagai otonomi, kemandirian, dan pentingnya budaya dan ideologi.

“It can be argued that Gramsci’s theory suggests that subordinated groups accept the ideas, values and leadership of the dominant group not because they are physically or mentally induced to do so, nor because they are ideologically indoctrinated, but because they have reason of their own.” (Strinati, 1995: 166)

Dari pandangan Gramsci, suprimasi kaum bourgeois didasarkan pada dua fakta yang sama-sama penting yaitu dominasi ekonomi dan kepemimpinan intelektual dan moral.

Apakah hegemoni ?

Sebuah kelas dikatakan telah berhasil, jika ia berhasil mempengaruhi kelas masyarakat yang lain untuk menerima nilai-nilai moral, politis dan kultural. Konsep ini mengasumsikan sebuah konsen sederhana oleh mayoritas populasi untuk arah tertentu yang diusulkan oleh mereka dengan kekuatan. Bagaimanapun juga konsen ini tidak selalu aman dan damai, malahan dapat mengkombinasikan kekuatan psikis atau koersi dengan pancingan atau dorongan intelektual, moral dan kultural. Konsen ini dapat dipahami sebagai “common sense”, sebuah alam budaya dimana ideologi dominan dipraktekkan dan tersebar. Sesuatu yang muncul dari perlawanan kelas sosial dan membentuk serta mempengaruhi pikiran orang. Itulah hegemoni, hegemoni adalah seperangkat ide-ide sebagai alat yang digunakan oleh kelompok dominan untuk memperjuangkan kepentingan kelompok subordinat dalam kepemimpinan mereka.

Hegemoni bukan strategi eksklusif kaum bourgeois
Kelas pekerja dapat membangun hegemoninya tersendiri sebagai strategi untuk mengkontrol negaranya (atau pemerintahannya). Namun, Gramsci menyatakan bahwa satu satunya cara untuk menunjukkan kontrol kelas pekerja adalah dengan menarik perhatian kelompok lain dan kekuatan sosial lain dan juga menemukan cara mengkombinasikan dengan kepentingan mereka.

Jika kelas pekerja ingin meraih hegemoni, maka ia harus secara sabar membangun kerjasama dengan minoritas sosial yang ingin beraliensi. Koalisi baru ini harus hormat pada otonomi dari pergerakan, jadi setiap kelompok dapat membuat kontribusi khusus pada kelompok sosialis. Kelas pekerja harus menyatukan perjuangan demokratik melawan kelas kapital, sehingga akan memperkuat keinginan kolektif.

Mempertahankan hegemoni dari waktu ke waktu
Hegemoni secara konstan disesuaikan dan direnegosiasikan. Gramsci mengatakan bahwa hegemoni tidak dapat didapat begitu saja. Pada fase pasca revolusioner (ketika kelas pekerja telah mendapatkan kontrol) fungsi kepemimpinan hegemik tidak hilang tetapi merubah karakternya.

Namun, Gramsci menyebutkan dua mode berbeda kontrol sosial:
  1. kontrol koersif : termanifestasi melalui kekuatan langsung atau ancaman (dibutuhkan oelh sebuah kepemimpinan ketika kepemimpinan hegemonik rendah atau lemah)
  2. kontrol konsesual : muncul ketika individu secara seukarela berasimilasi dengan pandangan dari kelompok yang mendominasi (= kepemimpinan hegemonik)

Secara periodikal biasanya dalam sebuah organisasi terjadi krisis dimana kelompok yang sedang memimpin mulai disintegrasi dan perpecahan. Celah ini menjadi kesempatan yang baik bagi kelas subordinat untuk transcent batasan-batasannya kemudian membangun sebuah pergerakan besar yang mampu menantang “kehendak” yang bercokol dan kemudian meraih hegemoni. Tetapi, jika kesempatan itu tidak diambil, maka kekuatan seimbang akan kembali pada kelas dominan, yang akan membangun kembali hegemoninya dengan pola baru, bahkan diperkuat dengan aliansi yang baru.

Kekerasan bukanlah satu satunya jalan untuk mencapai dominasi hegemoni. Cara menantang dominasi hegemoni adalah aktifitas politik. Tetapi kita harus mengerti sebuah perbedaan yang diungkapkan oleh Gramsci bahwa ada 2 macam strategi politik yang berbeda untuk meraih kapitulasi predominasi hegemoni dan konstruksi masyarakat sosialis : yaitu serangan langsung (frontal attack) atau perjuangan panjang (long struggle).

Yang pertama, serangan frontal, tujuan intinya adalah untuk menang dengan cepat. Cara ini direkomendasikan untuk masyarakat dengan kekuatan negara yang tersentralisasi dan terdominasi, dimana negara telah gagal membangun hegemoni yang kuat diantara masyarakat sipil. Contohnya, revolusi Bolshevik di tahun 1917.

Yang kedua, kekuatan sosial mendapatkan kontrol melalui perjuangan budaya dan ideologis, selain kontes politis dan ekonomis. Direkomendasikan bagi masyarakat kapitalisme barat liberal demokrat (negara lemah tetapi hegomoni kuat). Contohnya, italia. nEgara seperti ini mempunyai masyarakat sipil yang lebih ekstensif yang membutuhkan strategi panjang dan kompleks.

Hegemoni, Budaya dan Ideologi

Budaya adalah keseluruhan proses sosial, dimana perempuan dan laki-laki menentukan dan membentuk kehidupan mereka. Sementara, ideologi adalah sistem makna dan nila, ideologi adalah ekpresi atau proyeksi atas kepentingak kelas tertentu. Bentuknya tidak disadari, dapat diekspresikan dan dikontrol.

“hegemoni” goes beyond “culture”, mungkin term inilah yang menjelaskan kaitan diantara ketiganya. Keseluruhan proses sosial memberikan dostribusi pada kekuatan dan pengaruh. Orang mendefinisikan dan membentuk dunia mereka sendiri berdasarkan dari abstraksi yang mereka buat. Hanya benar secara parsial. Dalam masyrakat aktual manapun ada perbedaaan spesifik dalam pemaknaan demikian jua kapasitas untuk memahami proses ini. Gramsci memperkenalkan rekognisi dominasi dan subordinasi sebagai proses keseluruhan.

Jadi, yang dikemukakan dalam pikiran, pertama anda akan membangun kelas dan mengkonkritkan ideologi berdasarkan kepentingan anda yang akan mendominasi seluruh masayrakat karena pengaruh yang tidak bisa dihindari dari relasi kapitalis. Seperangkat ide ini akan menggantikan hegemono yang diekspresikan oleh syaraf budaya. Jika asumsi ini benar, maka kita dapat mengkonklusikan bahwa media adalah instrumenuntuk mengekspresikan ideologi dominan sebagai bagian integral dari lingkungan budaya.

Pengertian Apologetika Kristen

Apologetika Kristen

Menurut Syari'ah Islam, hukuman yang diberikan bagi orang murtad adalah hukuman mati. Ini berarti bahwa sangat tidak mungkin bagi sekalian orang Kristen yang berada di bawah kekuasaan umat Islam untuk menyatakan ajarannya kepada orang Islam. Seorang muslim yang pindah agama memeluk agama Kristen bukan saja mendapat hukuman mati yang membahayakan dirinya, bahkan mungkin harus menerima balasan untuk memusuhi masyarakat Kristen. Jadi ada kebijakan orang Kristen untuk harus hati-hati apabila mereka melakukan diskusi-diskusi keagamaan dengan orang Islam. Dalam kasus murtad ini khalifah mengajukan beberapa pertanyaan yang kemudian dijawab oleh Timothy. Dengan cara yang sama, dalam karya-karya ringannya John terdahulu di Damascus yang mempertimbangkan bahwa orang Islam akan mengajukan masalah-masalah, sungguhpun orang Kristen telah diberi nasehat bagaimana mereka harus memberi jawaban.


Dalam karya-karya Yunani dari John di Damascus, selain dua versi "Diskusi antara seorang Kristen dan seorang Saracen" yang telah ditunjukkan, orang Islam dimasukkan ke dalam orang-orang kafir Kristen. John di Damascus menjabat kedudukan administrasi pemerintahan di bawah kekuasaan khalifah-khalifah Bani Umayah, dan dapat dibayangkan bahwa John ini lebih banyak mengerti tentang Islam ketimbang kenyataan yang diperolehnya. Dia menganggap Sarakenoi atau orang-orang golongan Ismailiah sebagai telah dibawa kepada kemusyrikan oleh nabi yang salah, Muhammad, yang mendapatkan ide-ide menggelikan dari Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru serta dari rahib bangsa Aria.

Dia katakan hanya ada satu Tuhan, Yang Maha Menciptakan segala sesuatu yang ada, Yang tidak beranak dan tidak dilahirkan. Dia berkata bahwa Kristus adalah Firman (logos) Tuhan dan Ruh-Nya, makhluk yang diciptakan dan hamba yang mengabdi kepada-Nya. Bahwa Yesus lahir dari rahim Maria, saudara perempuan Musa dan Harun, tanpa benih dari orang lelaki (tanpa bapak). Orang-orang Yahudi berusaha untuk membunuhnya, namun bayang-bayangnya disalibkan, sebab Tuhan mengambilnya sendiri karena Dia mencintai Kristus. 

Selanjutnya dia mengatakan bahwa pengikut-pengikut Muhammad tidak dapat membuktikan bahwa Muhammad itu seorang nabi dengan menunjukkan bukti-bukti kenabian atau menunjukkan keajaiban-keajaiban mu'jizat yang ada padanya. Mereka menyebut umat Kristen sebagai orang-orang "asosiasionis" (hetairiastai) sebab mereka menjadikan sekutu Tuhan, dan mereka mempertahankan ayat-ayat Bibel untuk mengabsahkan pandangan-pandangan Kristen yang telah ditambah-tambah dari aslinya, baik oleh orang-orang Kristen sendiri maupun oleh orang- orang Yahudi. Dalam menanggapi tuduhan bahwa umat Kristen menyembah dan menyucikan salib, dia tegaskan bahwa umat Islam itu menyembah batu hitam (hajar aswad) di Ka'bah. Sejumlah pandangan sepele yang lain itu sebenamya tidak ada sama sekali manfaatnya kecuali sia-sia belaka. Kesemua ini hampir menjadi pertimbangan Islam yang tidak sahih dari sudut pandang obyektif, namun dapat dilihat sebagai persepsi yang sahih bagi umat manusia yang membela diri untuk menolak tekanan-tekanan yang mungkin terjadi atas mereka dari kolonialisme Islam. Barangkali ada baiknya untuk dicatat bahwa sebagian besar materi yang didiskusikan baik dalam pertimbangan ini maupun dalam "diskusi dengan seorang Saracen," dimanapun berada orang Islam itu tetap akan menyerang orang Kristen.

Tak lama setelah masa John di Damascus membanjiri literatur Kristen di Arab, secara khas bersifat apologetik. Kesemuanya ini dibutuhkan di sini dalam rangka memahami sebagian kecil topik-topik yang dibicarakan dan argumen-argumen yang dipakai. Banyak argumen dalam "diskusi" John di Damascus tentang masalah-masalah yang berkaitan dengan kekuasaan Tuhan dan kehendak bebas manusia. Orang Saracen ingin bersiteguh dengan pendirian bahwa Tuhan menciptakan semua yang ada di dunia ini, baik dan buruk. Sementara orang Kristen membatasi aktifitas kreatif Tuhan dengan enam hari yang pertama. Salah satu argumen orang Kristen adalah apabila baik dan buruk itu berasal dari Tuhan, maka pencuri, pezina dan orang yang mati sahid harus dikatakan berasal dari kehendak Tuhan dan orang tadi tidak boleh dihukum. Argumen ini membawa pertanyaan, apakah Kristus itu menerima nasib penyaliban itu dengan suka rela, karena apabila Kristus menerima dengan suka rela oleh kehendakNya sendiri (dan kehendak Tuhan), maka orang-orang Yahudi itu harus sama-sama dipuji. Ada pernyataan ringkas tentang persoalan ini dalam diskusi Timothy dengan khalifah. 

John di Damascus sadar bahwa di dalam Al-Qur'an, Yesus (Isa) disebut-sebut sebagai "firman" (kalimah) Allah dan ruh yang berasal dari-Nya. Dia mcmbantah bahwa karena Isa itu adalah firman Allah maka harus berarti bahwa Isa itu bukan makhluk dan juga bersifat ketuhanan. Ketika orang Saracen menjawab bahwa semua firman Tuhan itu bukan makhluk dan tidak diciptakan namun tidak berarti tuhan-tuhan. Lalu John mencoba membedakan antara Yesus sebagai firman atau logos Tuhan dan firman Tuhan di dalam kitab suci (graphe), yang dinyatakannya dengan terma rhemata. Memang masalah ini rumit ketika orang Saracen memperkenalkan kalimat "firman" (logia) Tuhan, dan John terpaksa mengatakan hal ini harus dipahami secara metaforis bukan secara harfiah. 

John di Damascus menunjukkan ketidaksadaran umat Kristen yang dituduh menyembah tiga Tuhan dan menyatakan bahwa Yesus sebagai firman dan ruh. Kendatipun demikian, Timothy dan para penulis Kristen yang lain mengidentifikasi Firman dan Ruh sebagai dinyatakan di dalam Al-Qur'an dengan hipotases kedua dan ketiga dalam Trinitas. Kata Arab uqnum hanya dipakai untuk hipostasis dalam ajaran Trinitas. Timothy lalu terus membantah kalau Firman dan Ruh Tuhan itu harus bersifat kekal abadi, karena Tuhan tidak akan mungkin dapat bertitah tanpa Firman dan Ruh. Lebih lanjut, Timothy mencoba menjelaskan bagaimana yang tiga itu dapat menjadi satu Tuhan dengan cara memperbandingkan ketiganya itu dengan anak (atau globenya), cahayanya dan panasnya, atau memperbandingkan seorang lelaki yang mempunyai tanda-tanda kehidupan, rasional dan kematian. Setelah zaman Timothy, para ahli kalam muslim mendiskusikan atribut-atribut ketuhanan secara panjang lebar. Sementara itu para penulis Kristen mencoba berusaha memanfaatkan hal ini dengan mengidentifikasi hipostases dengan atribut-atribut seperti wujud, ilmu dan hayat. 

Maka tak pelak lagi ada isu penting yang muncul adalah apakah Muhammad itu nabi? John di Damascus menolak isu Muhammad sebagai nabi, namun menyebutnya sebagai pseudoprophetes (nabi palsu) dan menegaskan bahwa penegasannya itu tidak didukung oleh kemu'jizatan maupun oleh kesaksian kenabian sebelumnya. Namun begitu, dalam beberapa halamannya Timothy merumuskan pernyataan untuk mengakui bahwa Muhammad "berada di jalan nabi-nabi", walaupun sebelumnya dia katakan sudah tidak ada lagi nabi setelah Yesus kecuali Eliyah, dan, ketika menyatakan apabila Al-Qur'an itu benar dari Tuhan, maka harus dikatakan kenabian ini bukan tugas baginya untuk memutuskan, walaupun sebelumnya menambahkan bahwa kenabian itu tidak didukung oleh mu'jizat-mu'jizat. 

Orientalisme Edward Said : Agama dan Kultur Keagamaan

Mengakhiri bab dalam bukunya Orientalism, Edward Said menyatakan bahwa orientalisme sebagai institusi yang kuat dan luas. [1] Ini agaknya merupakan pernyataan yang berlebihan, sekurang-kurangnya sejauh Inggris yang diperhatian, walaupun di Inggris kemungkinan ada kebenaran yang sesuai dengan kebenaran yang terjadi di Amerika Serikat. Kendatipun demikian, yang lebih benar adalah mengetahui orientalisme sebagai bagian kecil dari sesuatu hal yang luas dan kuat, walaupun kenyataannya belum diinstitusikan, sesuatu yang boleh disebut "pandangan umum intelektual barat yang sekuler." Setiap orang pemikir yang ingin memahami lebih serius di barat, untuk bekerja pada parameter-parameter yang ditetapkan oleh pandangan umum ini, atau, untuk merubah metafora ini, dalam alam wacana ilmiah yang dibuat. Pandangan ini akan berkembang luas ke seluruh dunia, seperti semua negara yang mengadopsi bentuk pendidikan terutama sekali pendidikan barat, dan kultur dunia yang terjadi ini tidak boleh didominasi, paling tidak, pada hal-hal yang sekuler, oleh pandangan intelektual barat yang sekuler.


Tentang pernyataan dominan dalam cara ini tidak boleh diambil untuk menyisipkan pernyataan bahwa pandangan barat yang sekuler inilah yang sempurna dan tidak berubah. Menjelaskan pandangan yang sekuler ini menyiratkan adanya kultur-kultur keagamaan yang saling mengisi satu sama lain dan hal itu akan segera dikatakan. Walaupun demikian, berbeda dengan keagamaan itu, kultur intelektual barat terbuka untuk kritik dan tentu saja di barat banyak punya kritik. Pada waktu itu tiap kritik rupanya membawa perubahan, namun perubahan-perubahan yang dimaksudkan itu hanya terjadi secara perlahan-lahan. Kultur intelektual saat ini mempunyai pegangan kuat pada pemikiran intelektual sekuler ke seluruh dunia, sementara tidak ada kritik-kritik eksternal yang berpengaruh. Hanya kritik-kritik internal sajalah yang mempunyai kesempatan mengefektifkan perubahall-perubahan.

Salah satu kritik yang dapat disebutkan adalah bahwa kultur di atas hanya dapat memperhatikan ilmu pengetahuan untuk meraih kekuasaan, bukan ilmu pengetahuan untuk hidup, sesuai dengan perbedaan yang dibuat sebelumnya. [2] Ini adalah titik di mana aspek kultur keagamaan harus diperhatikan, karena agama-agama di dunia ini terutama memperhatikan ilmu pengetahuan untuk hidup. Hanya kultur agama saja yang kontaknya dekat dengan kultur intelektual barat yang sekuler, yang telah menjadi Kristen. Sampai kira-kira abad enam belas hubungan kultur sekuler bangsa Eropa dapat dinyatakan sebagai hubungan perkawinan atau perpaduan; yang perlahan-lahan tapi pasti ada perceraian; akhirnya sejak awal abad ini telah terjadi perkawinan yang rumit. Banyak pemikir Kristen menghampiri terma-terma pasca-Pencerahan dengan kultur intelektual sekuler dari Eropa (dan sekarang barat sebagai suatu keseluruhan), sungguhpun tidak ada pemikir yang mengatur sedemikian jauh untuk melahirkan hal ini dalam suatu bentuk yang telah diterima secara luas oleh umat Kristiani. Walaupun ke-Kristen-an itu ditolak oleh bagian-bagian opini barat terdidik dan oleh non-Kristen barat yang melihat pada masalah-masalah pokok sekuler. Bahkan ada hubungan akrab antara Kristen dan aspek-aspek pemikiran barat yang sekuler, seperti diterimanya ilmu pengetahuan (sains) dan metodologi historis. Jadi kepercayaan umat Kristen bahwa Yesus itu mati di tiang salib, yang tidak diakui oleh sebagian terbesar umat Islam, secara tajam didukung oleh metodologi historis umum sehingga tidak ada alasan yang bertolak belakang yang akan memperberat bebannya. Melainkan hal ini malah akan dapat menghilangkan keraguan atas metodologi historis yang dikembangkan tersebut.

Apa yang dikatakan menuju titik tersebut, sekalipun kultur dunia yang timbul itu akan didominasi oleh aspek-aspek sekuler pandangan intelektual barat, masih tetap terbuka bagi para penganut agama dunia untuk melingkupi dengan sesuatu yang berasal dari kultur agama itu sendiri. Pandangan barat yang sekuler, sebagaimana adanya, adalah kerangka acuan dari dalam yang harus berperan, namun pada kerangka acuan ini baginya ada kesempatan untuk mengejawantahkan keberadaan hidupnya sendiri. Saya sekarang akan melihat pada problema-problema yang diangkat oleh ilmu pengetahuan dan sejarah barat, namun terlebih dahulu melihat pada persoalan yang umum.

Beberapa kesulitan intelektual tentang agama yang dewasa ini dirasakan oleh umat Kristen dan umat pemeluk agama yang lain, pada intinya gagal memahami agama myth (mitos), simbol dan apa yang saya sebut sebagai bahasa ionic. [3] Tlap-tiap agama berusaha melahirkan kebenaran yang asasi, atau karakter fundamental kehidupan manusia dan alam semesta tempat manusia hidup. Namun itu semua merupakan pikiran manusia yang hanya dapat berhadapan dengan cara yang kurang sempurna. Realitas-realitas keagamaan dengan mana agama-agama hanya dapat dihampiri oleh akal yang tidak mampu membentuk konsep-konsepnya yang sahih. Bahasa manusia berlaku pada tempat pertama dengan obyek-obyek atau tindakan-tindakan atau hubungan-hubungan yang dapat diamati; misalnya, pohon, lembu, lari, terbang. Ada pula kata-kata utama bagi hubunganhubungan sosial seperti anak, ibu, paman (atau bibi). Ketika manusia hendak berhubungan dengan hal-hal yang bukan kata-kata utama itu, maka manusia menggunakan kata kedua, sebagaimana ketika menyebut sungai yang airnya mengalir. Apa yang mengalir di sungai itu adalah "sesuatu seperti" manusia atau binatang lari. Kita memakai kata-kata dalam arti yang kedua sampai ke pengluasan yang amat besar. Kendatipun dalam bahasa Inggris, kata ini sebelumnya tidak kita kenal sebab kita gunakan kata-kata dari akar kata bahasa Latin atau bahasa Yunani. Jadi sekarang untuk menyebut suatu cara yang meragukan yang lebih rumit yang memberlakukan sesuatu, seperti manusia lari atau binatang lari. Semua karya ilmiah itu penuh dengan penggunaan bahasa dalam cara kedua. Bahkan tak terkecuali contoh ilmu pengetahuan (sains) terdahulu adalah pernyataan dari gelombang-gelombang dan partikel-partikel yang berkenaan dengan cahaya, gelombang cahaya adalah hanya "sesuatu yang seperti" gelombang laut dan partikel hanyalah "sesuatu yang seperti" sebagian kecil dari benda padat.

Ketika para pemikir agama mencoba memberi penilaian terhadap dunia, maka sama sekali tidak mengherankan kalau mereka menggunakan kata-kata pada cara kedua ini. Ketika mereka berbicara tentang "Tuhan", mereka cenderung berfikir tentang "sesuatu yang seperti" manusia, terutama makhluk manusia yang kuat perkasa, seorang raja atau yang berkuasa. Ketika mereka mengatakan Tuhan "menciptakan" dunia ini, maka mereka berfikir bahwa "menciptakan" ini sebagai "sesuatu yang seperti" tindakan manusia menciptakan sesuatu, seperti tukang gerabah yang membuat pot bunga dari tanah, sebaliknya orang itu terus menegaskan bahwa Tuhan menciptakan dunia ini dari yang sebelumnya tidak ada. Tentang konsepsi agama mengenai dunia ini didasarkan atas penggunaan bahasa kedua dari kata "myth" -- mitos -- yang kadangkala dipakai, namun sayang sekali mitos itu datang dengan dua pengertian. Pada penggunaan bahasa kedua ini diterapkan pada pandangan dunia agama primitif yang mempunyai dorongan terhadap sesuatu yang tidak benar. Sebagian para kontributor terhadap buku The Myth of God Incarnate (yang diedit oleh John Hick), agaknya menggunakan mitos ini dalam cara yang negatif tersebut.

Walaupun demikian, ada pengertian positif dari "mitos" yang merupakan penglahiran dari kebenaran agama dalam bahasa kedua.

Dalam bahasa Inggris Amerika yang berbeda pada bahasa Inggris British, kata "myth" ini agaknya menjadi pengertian yang sudah lazim. Namun demikian, sebab ambiguitas kata "myth" itu paling baik dihindarkan. Saya anjurkan agar kita dapat berbicara dengan menggunakan bahasa "iconic." Icon adalah representasi dua-dimensional pada suatu obyek tiga-dimensional dan merupakan sesuatu yang diketahui menjadi tidak memadai kecuali apabila diterima sebagai representasi realitas. Ini menjadikan bahasa icon itu kemungkinan dapat dipegangi, meskipun bahasa yang kita gunakan tentang realitas ilahiah itu adalah bahasa iconic, bahkan apa yang sesungguhnya kita perbincangkan tentang yang real (nyata).

Akibat wajar dari apa yang kita katakan itu, ketika kita menggunakan bahasa iconic, apa yang nampak menjadi perbedaan-perbedaan itu sesungguhnya perbedaan-perbedaan yang sebenarnya tidak perlu terjadi. Hal ini harus dijaga dengan sungguh-sungguh dalam pikiran pada saat berusaha memperbandingkn agama-agama. Satu agama boleh jadi menyebut Tuhan sebagai "sesuatu yang seperti" seorang ayah dan orang lain dari ayah sebagai "sesuatu yang seperti" seorang ibu; namun dua konsepsi itu apakah benar-benar berbeda? Kedua konsepsi itu tidak dapat diasumsikan begitu saja lantaran kedua konsepsi itu berbeda satu sama lain ataupun malah identik. Konsepsi itu tergantung atas sikap persamaan yang tepat terhadap seorang ayah atau seorang ibu, dan persamaan ini agar tidak dikhususkan. Maka informasi lebih lanjut dibutuhkan. Kendatipun demikian, sebagai contoh, apabila konsepsi itu dipahami bahwa percaya kepada Tuhan ibu senantiasa diiringi oleh pelacuran yang suci, maka hal ini boleh jadi dapat menjadi alasan untuk bersikukuh dengan pendapat bahwa konsep-konsep yang berbeda-beda dan persamaan dari Tuhan sebagai bapak (ayah) adalah lebih tinggi tingkatannya.

Lebih lanjut meneruskan dari fakta bahwa bahasa agama itu secara luas adalah bahasa iconic lantaran dalam agama ini tidak ada kriteria intelektual yang memampukan orang memperbandingkan agama-agama tentang masalah kebenaran dan kesalahan, atau bahkan kebenaran yang relatif dan kesalahan yang relatif. Ada suatu kriteria yang mungkin dapat diterapkan, namun kriteria ini adalah kriteria praktis dari "Hasil" (yang lebih memuaskan akan didiskusikan pada bagian berikut ini). Hasil-hasil itu terdiri dari kualitas kehidupan yang dicapai oleh orang-orang yang hidup mengikuti suatu sistem kepercyaan agama yang khusus tertentu, yakni, suatu gambaran khusus dan ciri khas alam semesta dan kehidupan manusia. Apabila secara umum kulitas hidup itu baik, maka dapat dikatakan bahwa sistem kepercayaan itu lebih atau kurang benar. Oleh karena bahasa yang dipakai adalah bahasa iconic dan malahan hanya memberi tahu manusia bahwa realitas-realitas itu adalah seperti apa yang dikatakan, kiranya sulit menyatakan kebenaran absolut, namun orang dapat mengatakan sebagai suatu petunjuk bagi sistem kehidupan. Sistem kepercayaan itu memuaskan secara paripurna. Pada diskusi teoritis seperti yang terakhir ini diperlukan untuk melihat kepada seluk beluk kepelikan yang ada, namun pada kesibukan hidup aktual pada dataran teoritis tadi melupakan seluk beluk kesulitan tersebut dan untuk menerima terma-terma iconic secara jujur pada penilaian sikap jujur yang sempurna.

Setelah mempertimbangkan hakekat bahasa agama ini, kita dapat kembali ke kultur dunia yang timbul dan kembali ke dua aspek agama yang paling relevan dengan pandangan sekuler intelektualnya, yakni, pengakuan akan jaminan hasil-hasil ilmu pengetahuan yang handal lagi aman dan pengakuan akan metodologi historis modern. Bagi orang yang beriman kepada Tuhan, perlu menegaskan bahwa jaminan hasil-hasil ilmu pengetahuan hanya diterima pada bidang sains yang layak. Sebagaimana Aristotle pernah mengakui ketika menulis bukunya yang berjudul Meta ta physica, ada suatu dunia di balik sains. Istilah "metafisika" telah keluar dari bentuk biasa, namun dunia di balik sains itu masih tetap ada dan yang menjadi perhatian orang beriman kepada Tuhan ketika mengatakan Tuhan itu sebagai sang Pencipta. Untuk mengatakan bahwa Tuhan menciptakan alam semesta, atau Tuhan menciptakan proses kosmik dan bahwa Tuhan mengontrol proses kosmik yang dapat diinderai itu, sama halnya dengan penonjolan bidang metafisika yang tidak dapat diinderai, melainkan lebih sebagai penonjolan akan karakter dari proses kosmik itu, tentang akhir dari gerakan proses kosmik itu dan bagaimana proses kosmik itu mengacu ke arah akhir itu. Itu semua adalah hal-hal pokok yang tidak dapat dihampiri oleh metode-metode eksperimental dalam sains, meskipun dipahami bahwa metode-metode dalam sains ini dapat diverifikasikan oleh kriteria yang ditimbulkan.

Kesulitan bagi umat Kristen yang disebabkan oleh teori Origin of Species dari Charles Darwin dapat dilihat sebagai bukti bahwa mereka memahami bab pertama kitab Genesis sebagai asal-usul yang dapat me-ngakibatkan pernyataan-pernyataan ilmiah. Lebih lanjut para pemikir Kristen telah menyatakan penegasannya bahwa Tuhan menciptakan alam semesta termasuk dunia di luar bidang sains, dan tidak dapat diingkari keberadaannya, serta dikonfirmasi oleh pernyataan yang dibuat oleh para ilmuwan dalam dunianya yang pas. Banyak orang muslim yang belum memahami istilah-istilah yang berkenaan dengan fakta evolusi. Konferensi Dunia Pertama tentang Pendidikan Islam (1977), yang saya tunjukkan di tempat lain, [4] mengeluhkan bahwa dasar-dasar asumsi itu berhadapan dengan sains yang tidak diambil dari agama dan berharap agar para ilmuwan muslim dapat menghasilkan konsep-konsep Islam untuk menggantikan asumsi-asumsi di atas. Evolusi yang boleh jadi merupakan salah satu hal yang mereka miliki dalam pemikiran ketika mereka menyebutkan pada jalan ini, namun solusi mereka itu malah salah kaprah diterimanya. Ilmuwan agama tidak dapat memproduksi konsep-konsep bagi para ilmuwan untuk digunakan di bidang sains, sebaliknya apa yang dapat dilakukannya adalah memberikan pandangan yang lebih komprehensip tentang proses kosmik sebagai yang diciptakan oleh Tuhan yang dapat dioperasionalisasikan secara bebas oleh para ilmuwan.

Poin lain dimana orang-orang beriman kepada Tuhan harus mengakui pandangan sekuler barat adalah dalam hal metodologi historis. Ini agaknya merupakan hal yang lebih kompleks ketimbang pengakuan hasil-hasil penemuan ilmiah. Suatu karya sejarah adalah presentasi yang tidak sederhana dari seperangkat fakta-fakta historis obyektif, sebab fakta-fakta yang muncul tadi telah diseleksi berkenaan dengan nilai-nilai tertentu. Ahli sejarah menulis dari suatu perspektif yang spesifik, yang nilai-nilainya merupakan suatu bagian dari perspektif spesifik itu. Ini adalah satu hal yang telah ditekankan oleh Edward Said ketika menyebutkan bahwa kaum orientalis itu salah menggambarkan kata Islam sebab dilekatkan pada bahasa, kultur dan ambiensi politik mereka, yakni, mereka mempunyai perspektif yang secara luas diterima oleh lingkungan dimana mereka hidup. Secara jelas, ketika dua orang menilai fakta-fakta yang sama dari perspektif yang berbeda, maka mereka akan memahami fakta-fakta tersebut secara berbeda pula. Apa yang penting di sini adalah, apapun perspektif itu, fakta-fakta obyektif yang diterima secara umum oleh para ahli sejarah, tidak harus ditolak. Memang benar, ada ruang gerak tertentu bagi ahli sejarah dalam bentuk yang tepat persis dimana orang ini menghadirkan fakta-fakta ketika tindakan manusia yang sama melihat dari perspektif-perspektif yang tidak sama. Dalam cara ini, fakta obyektif dapat dipadukan ke dalam penafsiran. Kendatipun demikian, yang esensial adalah dimana fakta obyektif itu dapat dibangun oleh bentuk metode-metode historis, maka harus dapat diterima, yakni arti kata ummi dalam al-Qur'an sebagai "orang kafir" atau "non-Yahudi." 

Walaupun begitu, malahan perlu dicatat hal itu yang juga dapat disebut "mitos" yang menggunakan fakta quasi-historis. Kitab Jonah dalam Bibel tercatat sebagai contoh mitos dengan quasi-historis ini. "Mitos" dalam pengertian positif acapkali merupakan cerita atau kisah yang dihadirkan sebagai bersifat historis, sungguhpun tidak mempunyai landasan, atau paling kurang landasan yang aman, pada fakta historis obyektif. Contoh, dijadikannya Adam dan Hawa dalam kitab Genesis. Contoh ini tidak mempunyai tempat pada penilaian ilmiah berkenaan dengan asal-usul manusia di muka bumi, akan tetapi dalam pemikiran Kriten dan Yahudi kisah asal-usul manusia ini menjadi wahana kebenaran yang penting tentang kemanusiaan dalam hubungannya dengan Tuhan dan tentang persaudaraan manusia. Ilmu pengetahuan dalam bidang yang sesungguhnya tidak dapat memberikan pertimbangan alternatif permulaan manusia yang akan mengabadikan nilai-nilai tersebut; namun pemikir agama tidak harus menafsiri kisah ini dengan cara tertentu untuk menyalahkan wilayah kajian sains, sebagai contoh, untuk menegaskan bahwa tafsiran ini menjawab pertanyaan ilmiah apakah bangsa manusia itu berkembang dari kehidupan pra-human pada satu atau banyak dataran pokok.

Tiap asal kehidupan masyarakat dengan mitos dalam artinya yang positif ini. Dalam artikel tentang perjalanan cargo, Thomas Merton menjelaskan beberapa mitos kehidupan Amerika Serikat, umpamanya mitos supremasi kulit putih dan mitos bahwa bangsa Amerika adalah bangsa yang ilmiah dan rasional. Lalu dia terus menyatakan bahwa yang terakhir ini merupakan salah satu biang mitos mereka dan bahwa kehidupan mereka itu "melekat pada sedemikian banyaknya mitologi" yang tidak seperti mitologi bangsa pribumi, yang lebih kompleks dan lebih sophisticated. [5] Di sini, walaupun menerima ide positif mitos itu sebagai tempat dimana komunitas itu hidup, dia mencela banyak mitologi bangsa Amerika sebagai buruk atau tidak cukup. Ketika dia terus menyatakan "mitos-mimpi" bangsa Amerika, agaknya memaksudkan mitos yang kurang cukup yang tidak dapat memberikan hasil yang dijanjikan.

Konsep mitos ini sebagai basis suatu komunitas yang digunakan oleh pemikir muslim, Mohammad Arkoun, ketika menyatakan tentang Ummah atau masyarakat Islam yang ideal. Apabila saya mengatakan kepadanya secara benar, dia bersikeras bahwa mitos Ummah yang ideal itu didasarkan atas pengalaman-pengalaman masa awal-mula terdahulu, memberikan dinamika bagi aktifitas muslim dewasa ini, namun dikelirukan dengan fakta historis obyektif (kongkrit), atau malah menciptakan ideologi.

L'Umma ideale ne peut avoir d'existence historique sans ces postulats constitutifs d'uune conscience mythique. Celle-ci a une efficaciteet une tradition historiques qui rejailiscent sur la representation de l'Age inaugurateur. Voila pourquoi tout le discours islamique actuel s'evertue a imposer la validate "historique" du Modele legue par l'Age inaugurateur. En refusanr de reconnaitre la function specifique du mythe qui dynamise la conscience des acteur, mais ne se confond pas avec les productions historiques concretes de cette consciene, les militans isllamistes s'eloignent a la fois de l'Age inaugurateur dont ils veulent s'inspirer et des forces positives de l'action historique. [6]

Di tempat lain saya telah mengatakan self-image Islam sebagai dipertahankan oleh kaum fundamentalis dan ini rupanya mirip dengan yang dimaksudkann oleh Mohammed Arkoun oleh "kesadaran mistik" atau setidak tidaknnya terhadap bagian dari mitos tersebut, sungguhpun mungkin dapat menjadi marginal pada ideologi. Penggunaan kata "myth" dalam bahasa Inggris dalam artian ini sama-sama tidak memuaskan. Cerita- cerita (kisah) yang tidak sesuai dengan fakta historis yang dapat dijelaskan sebagai kebenaran yang hadir pada bentuk, sementara itu orang beriman bukan merupakan fakta obyektif dalam menerima cerita yang menghadirkan realitas-realitas penting yang mengetahui bahwa hal itu bukan merupakan fakta obyektif pada tingkat superfisial.

Kata "gambaran" adalah kemungkinan lain di sini, atau, sesuatu yang lebih tepat diperlukan, suatu gabungan seperti "gambaran sejarah" dapat digunakan. Lalu orang Kristen dapat mengatakan bahwa kisah Orang-orang Arif (Magi) memberi anugerah kepada anak Yesus di Bethlehem, walaupun secara pasti hampir tanpa basis obyektif, adalah bagian penting dari gambaran-sejarah Kristen dan diterima sebagaimana adanya. Kita berharap bahwa kaum muslimin mengakui penilaian referensi terhadap Ibrahim dan Ismail di Mekah pada Al-Qur'an yang mirip, karena, sekalipun sebenarnya bahwa Ibrahim itu tidak pernah sampai di Mekah, itu adalah gambaran- sejarah yang mengungkapkan kebenaran penting tentang hubungan Islam dengan tradisi Ibrahimiah.

Pengakuan metodologi historis modern juga makin meningkatkan pertanyaan-pertanyaan serius bagi kaum muslimin tentang Al-Qur'an, meskipun tidak sebanyak tentang Al-Qur'an sendiri sebagaimana tentang teori-teorinya mengenai hakekat Wahyu. Sejarah memperlihatkan bahwa ada kesalahan-kesalahan fakta pada Al-Qur'an, yang paling serius adalah persepsi Kristen yang lemah (sebagaimana dijelaskan pada bab 2). Apabila kaum muslimin bertahan bahwa Al-Qur'an itu benar-benar murni firman Allah tanpa campur tangan manusia itu tidak dipalsukan, maka mustahil menjelaskan kesalahan-kesalahan Al-Qur'an -- kecuali kita berusaha merumuskan bahwa Tuhan menipu kaum muslimin, yang tentu saja tidak mungkin dilakukan oleh Tuhan. Al-Qur'an sendiri tidak mendukung teori hakekat wahyu tersebut, karena hanya menegaskan Al- Qur'an itu berbahasa Arab dan bahasa Arab adalah bahasa manusia. Juga suatu bahasa dengan akrab diasosiasikan dengan seluruh pengalaman hidup orang-orang yang menyatakan hal itu, terutama bentuk hubungan sosial, ekonomi dan politik yang telah ditentukan; dan bentuk-bentuk tersebut berbeda dengan bangsa lain yang dicatat dalam sejarah. [7] Secara luas disetujui juga oleh orang-orang beriman kepada Tuhan bahwa hubungan-hubungan itu terutama ditunjukkan pada kebutuhan-kebutuhan kelompok untuk mencapai tujuan; namun tidak setuju bagaimana beradaptasi kepada suatu situasi manusia khusus tertentu yang ter}adi. Dalam jalan adaptasi kesalahan-kesalahan yang terjadi itu tidakkah mungkin dan tidakkah ada jalan untuk merubah kebenaran sentral wahyu tadi. Apa yang sebenarnya diharapkan orang-orang lain yang beriman kepada Tuhan akan terjadi bagi kaum muslimin mendapatkan jalan untuk mempertahankan kebenaran umum Al-Qur'an, selain tanpa mengingkari beberapa hal kedua yang mengabaikan kesalahan- kesalahan.

Pertanyaan untuk semua pertimbangan yang terjadi di atas adalah hendakkah kaum muslimin hidup bersama pada kehidupan "satu dunia" sebagai tempat kita bergerak, ataukah kaum muslimin hendak bertahan dalam keterasingan hingga harus merubah ketenangan dunia, sebab kaum muslimin menganggap Islam sebagai self-sufficient. Bilamana mereka hendak hidup bersama maka mereka harus menerima aspek-aspek sekuler kultur dunia dan berikhtiar memperlihatkan kepada umat beragama lain, bagaimana nilai-nilai keagamaan Islam itu mengimbangi kultur sekuler. Sungguhpun demikian, mereka tidak dapat melakukan hal ini apabila mereka masih tetap dipenuhi dengan ekspresi Islam pada terma-terma ilmu pengetahuan dan filsafat abad dua belas, sebagaimana yang dilakukan oleh kaum fundamentalis.

Apabila kaum muslimin berencana untuk memberi andil penuh pada kehidupan politik satu dunia, sekalipun pada bentuk kehadiran Persatuan Bangsa Bangsa yang kurang sempurna, maka akan banyak yang dapat mereka sumbangkan. Secara luas dipegangi bahwa Islam itu lebih sukses ketimbang Kristen dalam membawa nilai nilai moral dan keagamaan yang lahir pada kehidupan politik. Sudah banyak yang dahulu dilakukan dalam merumuskan moralitas politik bagi abad 21 sampai kepada ukuran kontrol yang dapat digunakan atas individu-individu dan kelompok-kelompok yang mempunyai kekuasaan luas, baik secara ekonomis maupun secara politis. Dengan demikian, kaum muslimin mempunyai sumbangan besar. 

Thursday, November 24, 2016

Pengertian & Konsep Liberalisme (Perspektif Positif & Negatif)

Teori Politik - Hai sobat, sebelumnya kita sudah mempelajari beberapa ideologi politik mulai dari Totalitarianisme & Anarkisme. Pada kesempatan kali ini kita akan membahas kajian tentang Ideologi Liberalisme, bagaimana pengertiannya dan konsepnya seperti apa? 

Monday, November 21, 2016

Pengertian Kapitalisme, Konsep & Teorinya Menurut Para Ahli

Teori Politik - Halo, kali ini kita masih membahas tentang ideologi - ideologi yang ada di berbagai negara, setelah kemarin kita mempelajari totalitarianisme, anarkisme dan liberalisme, pada kesempatan saat ini kita akan belajar tentang apa itu KAPITALISME? Berikut ini uraiannya....

Sunday, November 20, 2016

Pengertian dan Definisi Anarkisme

Teori Politik - Halo sobat, kali ini kita akan membahas kajian tentang apa itu pengertian dan definisi dari Anarkisme. Apa itu Anarkisme? Anarkisme adalah sebuah bentuk ideologi yang berlawanan dengan totaliter / totalitarianisme. Anarkisme menentang semua bentuk penguasaan pemerintah karena sebagai filsafat politik, anarkisme mengedepankan nilai-nilai kebebasan. Dalam hal pengaturan, anarkisme melihat pemerintah selalu berusaha membuat aturan untuk mengekang kebebasan individu, misalnya larangan untuk melakukan demonstrasi tanpa izin dari polisi.

Friday, October 7, 2016

Review Pemikiran Pierre Bourdieu (Analisis Konspesi dan Implikasi)

//PEMIKIRAN POLITIK PIERE BOURDIEU

Oleh :
Yoghi Kurniawan Prathama

Review Pemikiran Pierre Bourdieu (Analisis Konspesi dan Implikasi)

Berbicara mengenai perkembangan teori kritik tentu kita telah mengenal beberapa orang filsuf atau ilmuwan yang konsern di bidang teori kritik seperti Karl Marx, Hegell, Jurgen Habermas, Adorno, Derrida, dan Pierre Bourdieu. Banyak ide – ide atau gagasan kecil dari para tokoh tersebut yang secara ringan maupun ekstream mengkritisi suatu hal, terutama modernism, kapitalisme, globalisasi dan lainnya. Teori kritik berkembang dari kritikan terhadap pemikiran ilmuwan – ilmuwan positivism dan modernism, dengan segala keteraturannya yang rigid dan kaku.
Kita bisa lihat dari beberapa gagasan kritis seperti yang dikemukakan Habermas mengenai Public Spare, dimana perlu adanya ruang – ruang diskusi dalam masyarakat untuk membicarakan hal – hal permasalahan publik sebagai kontra dari otoriter pemerintah dalam menguasai rakyatnya. Kemudian, Derrida dengan teori dekontuksinya serta oposisi binner yang sangat terkenal, yang secara pemikiran mampu mengubah paradigm berpikir ilmuwan – ilmuwan dewasa ini.
Dari beberapa tokoh teori kritis tersebut, saya lebih tertarik untuk membahas mengenai pemikiran Pierre Bourdieu. Dimana tokoh yang dikenal sebagai salah satu filsuf di abad modern ini banyak menelurkan ide – ide gagasannya tentng teori kemsyarakatan utamanya mengkritisi dominasi ekonomi di dalam masyarakat contoh pemikirannya seperti konsep Habitus, Arena, serta  Dominasi Simbolik yang ia tuangkan dalam karya – karyanya.
Pierre Bourdieu lahir pada 1 Agustus 1930 di Denguin, Prancis. Ia meninggal pada 23 Januari 2002 di Paris, Prancis (Wikipedia Indonesia). Ia dikenal sebagai seorang intelektual publik yang lahir dari pengaruh pemikiran Emile Zola dan Jean-Paul Sartre. Konsep-konsep yang ia kembangkan amat berpengaruh di dalam analisis-analisis sosial maupun filsafat di abad 21. Sebelum meninggal, ia mengajar di lycée di Moulins (1955–58), University of Algiers (1958–60), University of Paris (1960–64), École des Hautes Études en Sciences Sociales (dari 1964), dan Collège de France (1982).[1]
Dari beberapa tulisan yang say abaca, Pierre Bordieau telah menghasilkan beberapa karya fenomenal dalam bukunya. Seperti Sociologie de l’Algérie (1958; The Algerians, 1962), La Distinction (1979; Distinction, 1984), dan masih banyak lagi yang lainnya. Dimana dalam buku -  buku hasil karyanya berisi tentang kritikan terhadap konsep – konsep ekonomi liberal maupun neoliberal, kapitalisme, globalisasi, bahkan pendidikan.  Dari beberapa gagasannya saya akan menguraikan beberapa pemikirannya dan menganalisis implikasi dari pemikirannya dalam realitas saat ini, khususnya di Indonesia.


Pierre Bourdieu tentang Habitus
Bourdieu memandang kekuasaan dalam konteks teori masyarakat, dimana ia melihat kekuasaan sebagai budaya dan simbolis dibuat, dan terus-menerus kembali dilegitimasi melalui interaksi agen dan struktur. Cara utama ini terjadi adalah melalui apa yang disebutnya 'habitus' atau norma disosialisasikan atau kecenderungan bahwa perilaku panduan dan berpikir.
Habitus adalah kebiasaan masyarakat yang melekat pada diri seseorang dalam bentuk disposisi abadi, atau kapasitas terlatih dan kecenderungan terstruktur untuk berpikir, merasa dan bertindak dengan cara determinan, yang kemudian membimbing mereka[2]. Sedangkan menurut Ayub Sektiyanto bahwa Habitus merupakan hasil ketrampilan yang menjadi tindakan praktis (tidak selalu disadari) yang diterjemahkan menjadi kemampuan yang terlihat alamiah.
Jadi Habitustumbuh dalam masyarakat secara alami melalui proses sosial yang sangat panjang, terinternalisasi dan terakulturasi dalam diri masyarakat menjadi kebiasaan yang terstruktur secara sendirinya. Habitus dibuat melalui proses sosial, bukan individu yang mengarah ke pola yang abadi dan ditransfer dari satu konteks ke konteks lainnya, tetapi yang juga bergeser dalam kaitannya dengan konteks tertentu dan dari waktu ke waktu. Habitus tidak tetap atau permanen, dan dapat berubah di bawah situasi yang tak terduga atau selama periode sejarah panjang[3]
Bourdieu dalam bukunya juga mengatakan bahwa Habitus bukanlah hasil dari kehendak bebas, atau ditentukan oleh struktur, tapi diciptakan oleh semacam interaksi antar waktu: disposisi yang keduanya dibentuk oleh peristiwa masa lalu dan struktur, dan bentuk praktik dan struktur saat ini dan juga, penting, bahwa kondisi yang sangat persepsi kita ini[4]. Dalam pengertian ini habitus dibuat dan direproduksi secara tidak sadar.

The habitus is not only a structuring structure, which organizes practices and the perception of practices, but also a structured structure: the principle of division into logical  classes which organizes the perception of the social world is itself the products of internalization of the division into social classes. (Bourdiou, 1984. Hal : 170).
Aplikasi dari konsep Habitus yang dikemukakan oleh Pierre Bourdieu bisa kita lihat dengan beberapa contoh kasus dimasyarakat. Misalnya dalam budaya masyarakat Indonesia khususnya masyarakat jawa. Kita mungkin mengenal dengan budaya patrimonial, dimana ketundukan seorang rakyat pada raja (penguasa). Tabu bagi masyarakat jawa untuk menentang segala titah raja,  kebiasaan ini sudah melekat dalam tradisi masyarakat jawa. Dimana pemimpin (raja, penguasa, pemerintah) meruapakan titisan tuhan dimuka bumi. Budaya patrimonial ini bisa dilihat pada masa pemerintahan orde baru dengan sistem pemerintahan yang otoriter. Semua struktur pemerintahan terpusat dibawah tampuk komando Soeharto,  segala titah Soeharto harus dilaksanakan. Budaya “bapakisme” atau asal bapak senang sudah terinternalisasi selama 32 tahun masa pemerintahan Soeharto, terutama dalam tubuh birokrasi di Indonesia, yang mungkin dewasa ini kita masih bisa merasakannya.
Selain itu, contoh lainnya adalah budaya “Patriarki”atau kedudukan perempuan dalam struktur sosial masyarakat. Dalam adat budaya timur, khususnya Indonesia, perempuan selalu menjadi subordinat dari laki – laki dalam berbagai hal. Posisi subordinat dalam masyarakat ini terbentuk secara alami dan terinternalisasi dalam waktu yang lama. Sehingga sudah menjadi asumsi umum bahwa perempuan berada dibawah laki – laki. Seaktif apapun peranan perempuan diluar baik dalam berbagai ranah seperti politik, bisnis, hukm, maupun ekonomi, saat kembali ke rumahnya tetap kedudukan perempuan menjadi istri rumah tangga, laki – laki yang menjadi pemimpin keluarga. Ini menjadi kebiasaan dalam kultur masyarakat Indonesia, dimana tabu bagi perempuan untuk melakukan tugas laki – laki, termasuk dalam terjun dalam arena politik.

Pierre Bourdieu tentang Kapital (Modal)
Selain konsep habitus, kelanjutan dari pemikiran Bourdieu adalah mengenai capital (modal). Kapital (modal) adalah hal yang memungkinkan kita untuk mendapatkan kesempatan-kesempatan di dalam hidup. Ada banyak jenis kapital, seperti kapital intelektual (pendidikan), kapital ekonomi (uang), dan kapital budaya (latar belakang dan jaringan). Kapital bisa diperoleh, jika orang memiliki habitus yang tepat dalam hidupnya[5]. Dimensi modal disini beragam, mungkin itu modal sosial, modal budaya, maupun modal ekonomi.
Modal memainkan peran yang cukup sentral dalam hubungan kekuatan sosial. Dimana modal menyediakan sarana dalam bentuk non-ekonomi dominasi dan hierarkis, sebagai kelas yang membedakan  dirinya. Modal merupakan simbolik dari adanya ketimpangan dalam masyarakat. Dimana masyarakat terstratifikasi dari kepemilikan modal.
Adanya konsep si miskin dan si kaya, adanya pengusaha dan buruh mencerminkan adanya ketimpangan dalam hal kepemilikan modal. Barang siapa yang memiliki modal, maka dia akan menguasai arena, atau bisa menyesuaikan diri dengan arena yang ada. Pun demikiran dalam konteks politik, saat seseorang memiliki modal politik (sumber daya politik), maka ia akan berperan aktif dalam ranah atau arena politik  untuk mendaptkn sumber – sumber kekuasaan dalam politik, baik itu jabtan, kedudukan, ataupun kewenangan lainnya, termasuk keuntungan dari perburruan rente dalam ranah politk.

Pierre Bourdieu tentang Arena
Arena adalah ruang khusus yang ada di dalam masyarakat. Ada beragam arena, seperti arena pendidikan, arena bisnis, arena seniman, dan arena politik. Jika orang ingin berhasil di suatu arena, maka ia perlu untuk mempunyai habitus dan kapital yang tepat[6]. Ayub Sektiyanto mengemukakan Arena merupakan ruang yang terstruktur dengan aturan keberfungsiannya yang khas namun tidak secara kaku terpisah dari arena-arena lainnya dalam sebuah dunia sosial. Arena membentuk habitus yang sesuai dengan struktur dan cara kerjanya, namun habitus juga membentuk dan mengubah arena sesuai dengan strukturnya. Otonomisasi relatif arena ini mensyaratkan agen yang menempati berbagai posisi yang tersedia dalam arena apapun, terlibat dalam usaha perjuangan memperebutkan sumber daya atau modal yang diperlukan guna memperoleh akses terhadap kekuasaan dan posisi dalam sebuah arena.”
Aplikasi dari konsep Habitus, Kapital dan Arena ini kita analisis dari realitas yang ada di Indonesia. Pada masa runtuhnya rezim orde lama, sentiment masyarakat Indonesia sangatlah besar kepda Partai Komunis, paham – paham komunis dianggap sebagai paham yang negative, identik dengan kekerasan. Dari stigma negative tersebut, muncul persepsi dalam masyarakat yang menolak paham – paham komunisme berkembang di tengah – tengah masyarakat. Soeharto saat memulai rezimny memanfaatkan Habitus masyarakat saat itu yang membenci komunisme untuk menguasai arena politik pada saat itu, Soeharto pun memainkan peranannya sebagai sosok protagonist yang memiliki modal (capital) sebagai dewa penyelamat dari pemberontakan G30S/PKI untuk menggantikan Soekarno menjadi Presiden Indonesia. Saat sumber kekuasaan telah dimiliki, modal politik sebagai presiden sudah ditangan, selanjutnya bagaimana Soeharto memanfaatkan modal yang dimilikinya untuk membentuk Habitus masyarakat Indonesia dan melanggengkan kekuasaannya.
Lagi – lagi Soeharto mampu melakukan permainannya dengan baik, dilandasi kultur budaya masyarakat Indonesia yang bersifat patrimonial, Soeharto menerapkan sistem pemerintahan sentralistik dalam gaya kepemimpinannya. Dimana kekuasaan terpusat ditangannya, Soeharto dijadikan satu panutan bagi seluruh rakyat Indonesia. Budaya sentralistik dan Patrimonial yang diterapkan Soeharto dalam gaya kepemimpinannya mampu merasuk dalam masyarakat dengan sendirinya, sehingga Soeharto mampu bertahan menjadi seorang Presiden selama 33 tahun.


Pierre Bourdieu tentang Distinction

Pierre Bourdieu menuangkan pemikirannya dalam sebuah buku yakni “Distinction: a social critique of the Judgement of Taste” yang di terjemahkan oleh Richard Nice. Dlam bukunya yang dimaksud dengan  “Distinction merujuk pada usaha kelompok individu dalam ruang sosial masing-masing untuk mengembangkan kekhasan budaya yang menandai mereka keluar dari satu sama lain[7].
Namun, perbedaan ini dapat menjadi fokus perjuangan simbolik (perjuangan untuk pembedaan) di mana anggota suatu kelompok berusaha untuk membangun keunggulan dari pembedaan itu sendiri. Perjuangan simbolis ini pada dasarnya adalah aspek perjuangan kelas. Kontrol atas pengetahuan yang dihargai, sanksi dan dihargai dalam sistem pendidikan merupakan salah satu aspek ini.
Namun, dalam 'Distinction' Bourdieu melemparkan jaringnya lebih luas untuk menangkap pengertian yang lebih umum bentuk dominan penghakiman rasa. Bisa budaya populer seperti musik dianggap sebagai salah satu aspek perbedaan, merek budaya, di mana konsumen berada dalam oposisi yang konstan dengan industri budaya, karena mereka memanfaatkan teknologi untuk mengkonsumsi atau menghasilkan budaya yang mereka sukai.  
Contoh dari konsep distinction ini sangat beragam dari beragai arena yang ada,baik arena politik, ekonomi, sosial, maupun budaya. Misalnya dalam konteks gaya hidup (life style) pembedaan ini bisa dilihat dengan adanya si kaya dan si miskin. Si kaya memiliki gaya hidup mewah, seperti memakai pakaian bermerek impor, memakai mobil, berdandan modis, makan di restaurant mahal. Berbeda dengan gaya hidup si miskin yang sederhana, dengan pakaian, rumah, dan gaya segala hal yang serba terbatas. Pembedaan ini adalah upaya dari salah satu kelompok untuk mendominasi kelompok lain dengan menunjukan strata sosialnya, dan berdampak pada kesenjangan sosial dalam masyarakat.
Namun seperti tadi dikatakan bahwa konsep distinction ini bukan hanya untuk memunculkan cirri khas yang membedakan salah satu golongan atau kelompok sosial. Namun juga sebagai upaya perjuangan simbolik dari salah satu kelompok. Misalkan adanya aktivis feminisme di Amerika Serikat, yang terus berjuang menjunjung tinggi kesetaraan gender, dengan segala perjuangan sosial politiknya. Melakukan aktivitas – aktivitas yang berbeda dengan kebanyakan orang lainnya tak lepas hanya untuk memperjuangkan kepentingan kelompoknya.


Pierre Bourdieu tentang Dominasi Simbolik
Dominasi simbolik adalah penindasan dengan menggunakan simbol-simbol. Penindasan ini tidak dirasakan sebagai penindasan, tetapi sebagai sesuatu yang secara normal perlu dilakukan. Artinya, penindasan tersebut telah mendapatkan persetujuan dari pihak yang ditindas itu sendiri[8]. Misalnya seorang istri yang tidak dapat membela diri, walaupun telah dirugikan oleh suaminya, karena ia, secara tidak sadar, telah menerima statusnya sebagai yang tertindas oleh suaminya.
Namun konsep dominasi simbolik (penindasan simbolik) juga dapat dengan mudah dilihat dalam konsep sensor panopticon. Sensor panopticon adalah konsep yang menjelaskan mekanisme kekuasaan yang tetap dirasakan oleh orang-orang yang dikuasai, walaupun sang penguasa tidak lagi mencurahkan perhatiannya untuk melakukan kontrol kekuasaan secara nyata.
Contoh yang bisa kita ambil kekuasaan Keraton Yogyakarta dengan sosok Sri Sultan Hamengkubuwono sebagai symbol kekuasaan di masyarakat daerah Yogyakarta. Tanpa menyentuh langsung rakyatnya, Sri Sultan sebagai symbol kekuasaan kerajaan sangat dikagumi dan diakui kharismanya oleh masyarakat. Sri Sultan menjadi panutan dalam kehidupan masyarakat Yogyakarta, tanpa memberikan perintah sudah dengan sendirinya masyarakat Yogyakarta hidup tertib, aman, nyaman.
Mekanisme dominasi simbolik nantinya memuncak pada pemikiran Bourdieu tentang doxa. Secara singkat, doxa adalah pandangan penguasa yang dianggap sebagai pandangan seluruh masyarakat. Masyarakat tidak lagi memiliki sikap kritis pada pandangan penguasa. Pandangan penguasa itu biasanya bersifat sloganistik, sederhana, populer, dan amat mudah dicerna oleh rakyat banyak, walaupun secara konseptual, pandangan tersebut mengandung banyak kesesatan.
Doxa menunjukkan, bagaimana penguasa bisa meraih, mempertahankan, dan mengembangkan kekuasaannya dengan mempermainkan simbol yang berhasil memasuki pikiran yang dikuasai, sehingga mereka kehilangan sikap kritisnya pada penguasa. Pihak yang dikuasai melihat dirnya sama dengan penguasa. Mereka ditindas, tetapi tidak pernah merasa sungguh ditindas, karena mereka hidup dalam doxa.



DAFTAR PUSTAKA

Andrew chtor.  A critical review of pierre bourdieus distinction a social critique of the judgement of taste. (online) diakses dari http://andrewchatora.wordpress.com/2010/03/26/a-critical-review-of-pierre-bourdieus-distinction-a-social-critique-of-the-judgement-of-taste/ tanggal 24 April 2013.

Bourdieu, Pierre. 1996. Distinction : a social critique of the judgement of taste. Cetakan ke-8, translated by Richard Nice. Cambridge. Harvard University Press.

Navano,2006. Hal :16 diakses dari http://www.powercube.net/other-forms-of-power/bourdieu-and-habitus/ tanggal 24 April 2013.

Wattimena, Reza AA.  2012. Berpikir Kritis bersama Pierre Bourdieu. (online). (diakses dari http://rumahfilsafat.com/2012/04/14/sosiologi-kritis-dan-sosiologi-reflektif-pemikiran-pierre-bourdieu/ tanggal 24 April 2013).



[2]Navano,2006. Hal :16 diakses dari http://www.powercube.net/other-forms-of-power/bourdieu-and-habitus/ tanggal 24 April 2013.
[3]Ibid. hal : 16. Diakses dari http://www.powercube.net/other-forms-of-power/bourdieu-and-habitus/ tanggal 24 April 2013.
[4]Bourdieu. 1984. Hal : 170.
[5]Wattimena, Reza AA. 2012. Berpikir Kritis bersama Pierre Bourdieu. (online). (diakses dari http://rumahfilsafat.com/2012/04/14/sosiologi-kritis-dan-sosiologi-reflektif-pemikiran-pierre-bourdieu/ tanggal 24 April 2013).
[6] Ibid. hal : 23. Berpikir Kritis bersama Pierre Bourdieu. (online). (diakses dari http://rumahfilsafat.com/2012/04/14/sosiologi-kritis-dan-sosiologi-reflektif-pemikiran-pierre-bourdieu/ tanggal 24 April 2013).
[7]Andrew chtor.  A critical review of pierre bourdieus distinction a social critique of the judgement of taste. (online) diakses dari  http://andrewchatora.wordpress.com/2010/03/26/a-critical-review-of-pierre-bourdieus-distinction-a-social-critique-of-the-judgement-of-taste/ tanggal 24 April 2013.

[8] Wattimena, Reza AA.  2012. Berpikir Kritis bersama Pierre Bourdieu. (online). (diakses dari http://rumahfilsafat.com/2012/04/14/sosiologi-kritis-dan-sosiologi-reflektif-pemikiran-pierre-bourdieu/ tanggal 24 April 2013).