Showing posts with label Sistem Politik Indonesia. Show all posts
Showing posts with label Sistem Politik Indonesia. Show all posts

Saturday, November 18, 2017

3 Pendekatan Teori Perbandingan Politik

Terdapat 3 PENDEKATAN PERBANDINGAN POLITIK yang harus kita pelajari dalam kajian materi kuliah teori perbandingan politik, berikut ini ulasan lengkapnya:
3 Pendekatan Teori Perbandingan Politik

Pendekatan Tradisional
Pendekatan tradisional secara historis saling menghubungkan fakta dan nilai dalam studi politik perbandingan. Pendekatan ini memfokuskan analisis pada struktur negara, pemilihan umum, dan partai-partai politik. Ia cenderung menggambarkan institusi-institusi politik tanpa mencoba memperbandingkannya, bukannya mengidentifikasi tipe-tipenya, misalnya institusi parlementer terhadap institusi presidensial.
Studi-studi tradisional biasanya membatasi pengujian mereka pada institusi-institusi Eropa Barat, khususnya apa yang disebut demokrasi-demokrasi perwakilan Inggris Raya, Perancis, Jerman, dan Swiss.
Pendekatan Behavioralisme
pendekatan perilaku yang merupakan sebuah reaksi terhadap spekulasi teori yang memberikan uraian penjelasan, kesimpulan, dan penilaian berdasarkan norma-norma atau aturan-aturan dan standar-standar kekuasaan maupun etnosentrisme, formalisme, dan deskripsi barat yang menjadi karakteristik pendekatan tradisional kontemporer.
Kecenderungan riset behavioral dalam politik telah menuju pada pembentukan model-model yang konsisten secara logika di mana ‘kebenaran’ diturunkan secara deduktif. Dalam upaya untuk membedakan antara penelaahan mode-mode behavioral dan tradisional, telah diidentifikasi adanya doktrin utama ‘kredo behavioral’, yaitu :
  1. Keteraturan atau keseragaman perilaku politik;
  2. Verifikasi atau pengujian validitas generalisasi atau teori tersebut;
  3. Teknik-teknik pencarian atau interpretasi data,
  4. Kuantifikasi dan pengukuran dalam rekaman data;
  5. Nilai-nilai yang membedakan antara dalil-dalil yang berhubungan dengan evaluasi etis dan yang berkaitan dengan penjelasan empiris;
  6. Sistematisasi riset, ilmu murni, atau pencarian pemahaman dan penjelasan perilaku sebelum menggunakan pengetahuan sebagai solusi permasalahan sosial;
  7. Integrasi riset politik dengan riset-riset ilmu sosial lainnya.

Pasca Behavioralisme
kredo paska behavioral terdiri dari sejumlah doktrin:
Pertama, substansi mendahului teknik sehingga permasalahan sosial yang mendesak menjadi lebih penting daripada peralatan investisigasi.
Kedua, behavioralisme bersifat konservatif dan terbatas pada abstraksi, bukannya kenyataan saat-saat krisis.
Ketiga, ilmu tidak dapat bersikap netral ketika dilakukan evaluasi, fakta tidak dapat dipisahkan dari nilai dan alasan-alasan nilai harus dikaitkan dengan pengetahuan.
Keempat, kaum intelektual harus mengemban tanggung jawab masyarakat mereka, mempertahankan nilai-nilai kemanusiaan dalam peradaban dan tidak semata-mata menjadi sekelompok teknisi yang terisolisasi dan terlindung dari isu-isu dan permasalahan yang melingkupi pekerjaan mereka.
Kelima, para intelektual harus menerapkan pengetahuan dan terlibat dalam pembentukan ulang masayarakat, dan keenam, para intelektual harus memasuki kancah perjuangan mutakhir dan berpartisipasi dalam politisasi institusi-institusi profesi dan akademik.
Pendekatan Perbandingan Politik dan Beberapa Karakteristiknya
Pendekatan Tradisional
Pendekatan Behavioral
Pendekatan Pasca-behavioral
Saling mengaitkan fakta dan nilai
Memisahkan fakta dan nilai
Fakta dan nilai diikat pada tindakan dan relevansi
Perspektif dan normative
Nonperspektif, Objektif dan empiris
Bersifat humanistik dan berorientasi masalah, normative
Kualitatif
Kuantitatif
Kualitatif dan Kuantitatif
Berkaitan dengan ketidakteraturan dan keteraturan
Berkaitan dengan keseragaman dan keteraturan
Berkaitan dengan keteraturan dan ketidakteraturan
Konfiguratif dan non komparatif, berfokus pada negara-negara individual
Komparatif, berfokus pada beberapa negara
Komparatif, berfokus pada beberapa negara
Etnosentris, secara khusus berfokus pada demokrasi-demokrasi Eropa Barat
Etnosentris, secara khusus berkaitan dengan model Anglo-Amerika
Secara khusus berorientasi pada dunia ketiga
Deskriptif, sempit dan statis
Abstrak, berideologi konservatif dan statis
Teoritis, radikal dan berorientasi hasil
Berfokus pada struktur-struktur formal (institusi dan pemerintah)
Berfokus pada struktur-struktur dan fungsi-fungsi (kelompok) formal dan informal
Berfokus pada hubungan dan konflik kelas serta kelompok



Wednesday, May 24, 2017

Partai Politik Pasca Reformasi

Partai politik pasca reformasi antara disalignment dan realignment


Tesis ini mengentara pasca Pileg 2014 kemarin. Kendati hanya berdasar rata-rata hasil quick-count dari 4 lembaga survei (terlampir), kelihatan bahwa posisi mereka semua mendatar. Tidak satu pun partai punya boarding-pass 25% agar bisa prerogatif mengusung capres-cawapres sendiri. Mereka semua harus negosiasi, baik dengan 1 atau lebih parpol lain guna mengusung kandidat kepala eksekutif negara 2014-2019. Hampir seluruh parpol harus mengadaptasi bentuk mereka menjadi "catch-all" party. Bentuk ini agar meluaskan spektrum pemilih agar suara mereka tidak mau jadi menyusut di pileg 2019 nanti. 


Disalignment dan Realignment

Kembali ke judul tulisan. Disalignment dan realignment adalah konsep yang di antaranya bisa ditemukan dalam tulisan Charles S. Mack dalam bukunya "When Political Parties Die: A Cross-National Analysis of Disalignment and Realignment" yang terbit tahun 2010 lalu. Mack mengaji fenomena disalignment dan realignment yang menimpa Whig Party (AS), Liberal Party (Inggris), dan Progressive Conservative Party (Kanada). Dalam tulisannya, Mack mendefinisikan disalignment sebagai: "A severe loss of support for a major political party among its core base voters."[1] Sementara itu, realignment didefinisikannya sebagai "A substantial, persistent, and pervasive transfer of support among medial voters from one major party to another."

Menurut Mack, suatu partai politik akan mengalami disalignment apabila ia kehilangan dukungan dari para pemilih yang menjadi basis partai tersebut. Misalnya, kalangan Nahdliyin pedesaan di Jawa Timur tidak lagi mau memilih Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) atau aktivis tarbiyah yang meningggalkan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di setiap pemilu. Sementara itu, realignment adalah suatu kondisi dengan mana terjadi transfer dukungan dari pemilih suatu partai ke partai lainnya. Misalnya, para pemilih Partai Amanat Nasional mengalihkan dukungan kepada PKS atau para pendukunga Partai Demokrat lebih memilih Partai Gerindra di suatu pemilu. Fenomena "perpindahan" dukungan adalah suatu hal yang mengentara baik pada disalignment maupun realignment

Konsep kunci dalam kedua fenomena tersebut (disalignment dan realignment) adalah voter (pemilih dalam pemilu). Kategori pemilih dalam kedua peristiwa tersebut dapat dibagi menjadi 3 kategori yaitu core base voter (CBV), medial voter (MV), dan peripheral base voters (PBV). [2] CBV adalah suatu segment pemilih yang terbiasa dan normalnya selalu memilih para kandidat dari suatu partai tertentu, terkadang tidak peduli siapa kandidat yang partai itu tawarkan di setiap pemilu. Para CBV inilah yang sesungguhnya membuat suatu partai selalu memeroleh kursi di setiap pemilu. Kegagalan partai dalam memelihara CBV ini pula yang membuat suatu partai politik bangkrut suaranya. MV adalah para pemilih yang menjadi subyek yang potensial untuk ditarik oleh kandidat suatu partai karena mereka sesungguhnya bukan CBVpartai manapun. PBV adalah seperti CBV tetapi lebih kritis karena mereka sewaktu-waktu dapat berpindah pilihan ke partai lain apabila menurut mereka partai yang biasa mereka pilih melakukan suatu pengabaian. 

Baik peristiwa disalignment dan realignment maupun karakteristik pemilih yaitu CBV, MV, dan PBV, seluruhnya membuat konstelasi stabilitas partai politik ibarat terus ada di ujung tanduk. Tidak ada jaminan resmi bahwa hasil di Pileg 2014 adalah serupa dengan Pileg 2019. Tidak ada jaminan bahwa CBV suatu partai politik akan terus menjadi CBV tanpa pernah beranjak menjadi PBV


Disalignment Partai Politik

Mengapa partai politik bisa mengalami disalignment? Mack menginventarisasi sejumlah faktor selaku variabel bebas yang membuat partai politik mengalami peristiwa ini. Variabel-variabel tersebut adalah: 

  1. Gagalnya kepemimpinan
  2. Kerapnya terjadi pembelahan isu dan positioning terkait identitas nasional
  3. Alienasi partai atas CBV
  4. Adanya partai(atau partai-partai) alternatif
  • Kemungkinan akibat penerapan sistem pemilu First Past the Post (FPP)
  • Gagalnya kepemimpinan. Gagalnya kepemimpinan partai politik dicurigai menjadi sumber dari disalignment partai tersebut dari pemilu ke pemilu. Gagalnya kepemimpinan ini dapat dilihat dari terjadinya kondisi ketika elit partai salah melakukan penilaian atas posisi dirinya saat diperhadapkan dengan konstituen dan konfigurasi kekuatan partai-partai secara aktual. Aneka korupsi yang dilakukan elit partai adalah salah satu dari gejala ini. Juga, inkompetensi elit (dan para kandidat partai) misalnya dalam melontarkan statement, mengatasi konflik internal partai, pembangunan aspirasi di level grass-root, eksklusivitas elit, merupakan ragam hal yang dapat dimasukkan ke dalam kategori ini. Gagalnya kepemimpinan ini bahkan semakin jelas di era informasi yang terbuka. Para CBV dapat mengamati dan mengevaluasi perilaku elit partai lewat blog, twitter, facebook, bbm, dan social media lain selain tentu saja televisi. Selain karena alamiah dilakukan elit partai, gagalnya kepemimpinan juga dapat di-framing secara sengaja oleh lawan politiknya dari partai lain karena punya kekuatan media.

    Kerapnya terjadi pembelahan isu dan positioning terkait identitas nasional. Hal ini berkaitan dengan pengambilan posisi aktual partai atas isu-isu nasional dan identitas CBV diperhadapkan dengan posisi elit. Para CBV merasa bahwa mereka telah selesai dalam mengidentifikasi diri mereka dengan partai politik. Posisi partai politik diasumsikan telah fix sehingga CBV merasa aman dengan pilihannya. Namun, akibat dinamisasi perpolitikan dalam skala nasional dan global, partai terkadang harus mengambil posisi berbeda dengan pendirian konservatifnya. Apabila ini terjadi, CBV akan mempertanyakan hal tersebut dan apabila jawaban memuaskan tidak diperoleh, mereka akan mulai merasa diasingkan oleh partai.

    Alienasi partai atas CBV. Situasi alienasi dapat dikatakan sebagai perulangan dua penyebab pertama, yang semakin intens, sehingga CBV seolah tidak memiliki kaitan afeksi lagi dengan partai. Dalam kondisi alienasi ini, CBV mungkin saja mulai bertransformasi menjadi PBV. Situasi CBV menjadi "galau" dan di titik inilah partai kompetitor mulai menyuguhkan diri mereka sebagai "pelipur lara." Atau, dapat saja CBV sama sekali menjadi apolitis dan ia pun bertransformasi menjadi MV. Mereka terombang-ambing, mengambang, dan baru menentukan pilihan apabila kepercayaan mereka kepada politik telah kembali.

    Adanya partai(atau partai-partai) alternatif. Kendati pun CBV telah menjadi MVataupun PBV, jarangkali mereka menaruh pilihan kepada partai lain dengan melintasi garis ideologis. Mereka umumnya "menyeberang" ke partai lain yang memiliki ideologi sama kendati "gerbongnya" berbeda. Seorang CBV partai berbasis agama, yang mengaitkan pilihan politik dengan kesalehan agama, akan sulit menyeberangkan pilihan mereka kepada partai lain yang berbasiskan sekularitas. Hal yang demikian pun dapat terjadi sebaliknya. Pada variabel keempat ini, situasi disalignment mulai mengental.

    Kemungkinan akibat penerapan sistem pemilu First Past the Post (FPP). Ini terjadi di negara-negara yang menganut sistem kepartaian dwi-partai seperti Inggris, Kanada, Australia, ataupun Amerika Serikat. Indonesia tidak menganut FPP dalam mekanisme Pileg. Namun, ini bukan berarti sistem proporsional tidak rentang mengakibatkan disalignment terhadap partai. Hal ini tampak dalam tulisan-tulisan selanjutnya.


    Belajar dari Empat Pileg

    Analisis selanjutnya diketengahkan berdasarkan 4 Pileg yang diselenggarakan 1999, 2004, 2009, dan 2014. Dari hasil tersebut dapatlah kiranya gambaran mengenai disalignment lebih terjelaskan.

    Data untuk pileg 1999, 2004, 2009, dan 2014 diambil dari KPU.

    Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. PDIP memeroleh suara 33,74% di pileg 1999, kemudian turun menjadi 18,31% di pileg 2004, terus turun di pileg 2009 menjadi 14,01%, untuk kembali naik menjadi 18,95% di pileg 2014. Apakah terjadi disalignment atas PDIP? Jawabannya adalah jelas apabila diletakkan dalam rentang 1999 hingga 2009, yaitu dari 33,74% menjdi 14,01. Suara partai tersebut turun lebih dari setengahnya sejak 1999. Suara tersebut bahkan turun dari 2004 ke 2009 selama masa partai menjadi menjadi oposisi pemerintah. Pemulihan baru terjadi dari 2009 ke 2014 di mana partai ini naik dari 14,01% menjadi 18,95%. Lalu, apa yang bisa dikatakan kepada PDIP ini.

    Pertama, apabila mundur ke determinan historis, PDIP adalah representasi dari PNI tahun 1955. Basis konstituen (CBV) partai PDIP sulit untuk dikatakan berasal dari luar partai ini. Di Pileg 1955, PNI berhasil memeroleh 22,32% sementara untuk Konstituante 23,97%. Apabila didasarkan pada asumsi tersebut, pada suara 33,74% di pileg 1999 terkesan agak berlebihan. CBV PDIP maksimal memang berada di sekitar 20%-an suara nasional. Pernyataan ini membawa dampak pada pernyataan selanjutnya: Disalignment terjadi pada PDIP sejak 2004, 2009 dan baru sedikit pulih pada 2014.

    Kedua, elit partai di PDIP kurang berhasil bertindak selaku perekat CBV karena hanya mengandalkan trah Sukarno, yaitu Megawati S.P. (juga almarhum Taufik Kiemas). Kerja suatu partai politik tidak bisa hanya mengandalkan kekuatan orang per orang sehingga menihilkan peran partai sebagai sebuah organisasi. Baru lah ketika PDIP melakukan kaderisasi di luar trah, seperti misalnya memroyeksikan elit-elit baru seperti Tri Rismaharini, Teras Narang, Rieke Dyah Pitaloka, Joko Widodo, ataupun Ganjar Pranowo, para CBV kembali bisa diyakinkan bahwa partai sesungguhnya memikirkan nasib mereka. Juga, ideologi yang diemban oleh tokoh-tokoh tadi tidak jauh dari ideologi yang juga ada di benak para CBV : Nasionalisme dengan tidak berpatokan pada disiplin agama tertentu.

    Ketiga, fenomena anjloknya CBV PDIP dari 1999 hingga 2009 juga akibat terciptanya image bahwa PDIP berdiri di posisi "kapitalis" sehubungan isu-iso salah satu segmen PDIP yang cukup luas: Buruh dan tani. Isu keberpihakan Megawati atas outsourcing dan penjualan aset kepada asing merupakan dua isu yang menghempas para CBV sehingga mereka teralienasi dari melirik partai lain untk dipercayakan aspirasi mereka. Terlebih kini para CBV memiliki pilihan yaitu Partai Gerindra yang secara ideologi tidaklah berbeda jauh dengan PDIP yang mana mereka bersedia menjadi pilihan pengganti PDIP.

    Partai Golkar. Partai Golkar adalah dominator dalam setiap pemilu Orde Baru, sejak 1971 hingga 1997. Begitu diadakah pemilu demokratis pertam 1999, suaranya anjlok menjadi 22,44%. Kendati ia menempati peringkat ke-2, dapat dipastikan bahwa partai ini sekedar memiliki CBV di kisaran 20%-an pemilih. Di Pileg 2004 suaranya turun menjadi 21,62%, terus turun di 2009 menjadi 14,45% dan stagnan-cenderung naik menjadi 14,75% di 2014. Pemilih Golkar di tiap-tiap pileg Orde Baru, kendati selalu mayoritas, ternyata bukanlah melukiskan CBV yang sebenarnya. Pemilih terbesar mereka di masa-masa tersebut kiranya hanya merupakan MV, dan ini ditunjukkan secara kuat pada pileg 1999: Dari 60%-an suara mereka di pileg 1997 segera anjlok menjadi 22,44% dan terus turun di masa-masa kemudian.

    Disalignment benar-benar terjadi pada PG. Mayoritas pemilih mereka di Orde Baru adalah MV, yang "terpaksa" memilih partai ini karena sejumlah alasan. Pileg 1999 pun bukanlah menunjukkan siapa CBV mereka. Di antara 22,44% pemilih mereka di 1999 masihlah terdapat PBV. Ini segera ditunjukkan di Pileg 2004 di mana suara mereka menyusut 0,82%. Dilanjutkan dengan penyusutan sebesar 7,17% dari 2004 ke 2009. Seperti dalam teori disalignment, faktor gagalnya elit mengentara di keanjlokan 2004 ke 2009 ini. Kepemimpinan PG pecah antara kubu Surya Paloh, Jusuf Kalla, dan Aburizal Bakrie. Surya Paloh kemudian dikenal mengembangkan gerakan sosial Nasional Demokrat, Kalla fokus pada organisasi di luar PG (Dewan Masjid Indonesia dan Palang Merah Indonesia), sementara Bakrie yang mengandalkan kekuatan finansial dan medianya memimpin PG yang kini kurang padu. Pemilih PG mengalami alienasi dan mereka yang mengalami hal ini benar-benar siap menransformasikan suara mereka kepada partai lain.

    Disalignment PG di antaranya juga disebabkan berdirinya Partai Demokrat (PD). PD yang sejak Pileg 2004 sudah ikut serta diduga menjadi muara pemilih PG yang sudah menjadi PBV. Para pengikut Hayono Isman dan Susilo Bambang Yudhoyono kemungkinan besar masuk ke gerbong baru ini. Gagalnya elit PG dalam distribusi kekuasaan pun kian memermanensi dugaan CBV partai ini yang sekadar di kisaran 14% terkait perolehan suara mereka di Pileg 2014. Ini ditunjukkan dengan hadirnya 2 partai baru yang difigurisasi oleh bekas tokoh senior PG seperti Prabowo (Partai Gerindra/PGIR) dan Wiranto (Partai Hanura/PHNR). Kehadiran 2 partai inilah yang membuat PG benar-benar memiliki sekadar PBV di Pileg 2004. Banyak dari antara PBV ini yang dengan mudahlah menyeberang ke PGIR dan PHNR. Pileg 2014 tidak lebih sekadar membuktikan kecenderungan-kecenderungan ini secara lebih lanjut.

    Partai Persatuan Pembangunan. PPP adalah partai fusi, yaitu dari partai-partai berbasis Islam yang dikompres oleh Orde Baru menjadi 1 partai Islam tunggal. Adalah Nahdlatul Ulama, Partai Muslimin Indonesia (pewaris Masyumi), Partai Syarikat Islam Indonesia, dan Pergerakan Tarbiyah Islamiyah menjadi pembangunnya. Dengan demikian, sejak awalnya, pemilih PPP adalah perpaduan dari CBV dan PBV yang cukup menarik. Di selama pileg Orde Baru, PPP mengalami efek depolitisasi dari pemerintah. Para pendukung partai Islam, untuk sebagian, memilih PPP sebagai pilihan minimal. Banyak pula di antara pemilih Islam yang melabuhkan suara mereka di partai korporatis PG.

    Suara PPP cenderung stabil sejak Orde Baru hingga Pileg 1999 dengan posisi 10,71% suara. Namun, posisi pendukung partai Islam memiliki sejumlah kesempatan untuk menerjemahkan pilihan politik mereka secara lebih asertif. Hadir Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang berbasiskan kaum Nahdliyin, Partai Amanat Nasional (PAN) yang berbasisnya ormas Muhammadiyah, dan Partai Keadilan (PK) yang berbasiskan kalangan pergerakan Tarbiyah dan revivalis Islam internasional. Kemunculan PK, PKB, dan PAN ini mendorong pemilih Islam untuk lebih tegas memosisikan sikap Islam dan hidup politik mereka. PBV di tubuh PPP pun segera melabuhkan pilihan mereka ke ketiga partai tersebut, sementara CBV mereka menetap di PPP. Akibatnya, suara PPP menyusut sebesar 2,55% dari Pileg 1999 ke 2004. Untuk kemudian menyusut lagi sebesar 2,83% dari Pileg 2004 ke 2009.

    Seperti telah diketahui, sesungguhnya PPP sendiri memiliki basis-basis pemilih yang berlainan di dalam tubuhnya. Dapat diprediksi bahwa kalangan NU di tubuh PPP berlabuh ke PKB, kalangan Muhammadiyah, PSII, dan Perti berlabuh ke PK(S) dan PAN. Kemungkinan juga banyak di antara PBV di tubuh PPP berlabuh ke partai-partai nasionalis yang mengiklankan diri sebagai juga religius (misalnya PD). Kini, CBV PPP dapat dikatakan sekadar berisikan 5 - 6% suara nasional. Hal ini pun dengan sejumlah catatan bahwa PPP benar-benar dapat mengendalikan konflik internal di dalam partai yang sesungguhnya memiliki CBV yang berasal dari basis berbeda.

    Partai Kebangkitan Bangsa. PKB seharusnya menjadi labuhan partai NU yang berkembangan sejak tahun 1952 dan NU yang serupa yang difusikan Orde Baru tahun 1971. Pada Pileg 1955 partai Nahdlatul Ulama menguasai 18,71% suara nasional, sementara pada Pileg 1971 menguasai 18,68% suara. Sebagai partai, NU dahulunya dapat dikatakan memiliki CBV yang cukup "tulen." Basis mereka adalah para santri di wilayah pedesaan (terutama Jawa Tengah dan Timur). Suara NU cukup stabil di periode 1955 hingga 1971.

    Manakala fusi dilakukan sejak 1971, kalangan NU seperti kehilangan pakem politik nasional. Para pemilihnya kemudian berubah menjadi MVhampir di sepanjang masa Orde Baru: Ada di antara mereka yang melabuhkan suara ke PG maupun PPP (mungkin juga bisa ke PDI, kendati kurang kuat). Di kedua partai tersebut, para pendukung NU sekadar bersifat MV.

    Menjelang Pileg 1999 berdirilah PKB dimotori tokoh NU Abdurrahman Wahid (cucu K.H. Hasyim Asy'ari, pendiri NU). Berbondong-bondong kaum Nahdliyin menuntaskan rindu-rendam mereka dalam politik nasional Indonesia. PKB langsung meraup suara sebesar 12,61% sekalig menempatkan dirinya sebagai pemenang ke-3 Pileg 1999. Dapatlah dikatakan bahwa suara ini memang sungguh-sungguh berasal dari CBV kalangan NU. Namun, PKB ternyata memiliki "rasa" berbeda dengan Partai NU, karena khittah 1984 menyatakan NU keluar dari arena politik. Namun, hengkangnya NU dari politik (sebagai partai) masih kurang dirasakan para CBV partai NU dahulu. Mereka tetap yakin bahwa PKB adalah partai NU itu sendiri. Hal ini ternyata tidak seperti diharapkan.

    NU adalah salah satu aliran yang berkembang jauh sebelum reformasi 1998 terjadi. NU adalah pernyataan tegas kesalehan Islam versi masyarakat tradisional Islam di Indonesia. NU (kalangan Nahdliyin-nya) memegang saham cukup besar dalam peralihan politik dari kolonial ke kemerdekaan dan dari Orde Lama ke Orde Baru. Sebagai kekuatan politik, NU adalah kekuatan yang mandiri. Kemandirian ini dirasakan masih harus terdapat di PKB.

    Ternyata, PKB bukanlah partai NU. Bentuk-bentuk pernyataan Islam yang tegas (versi NU) sulit diperoleh pada PKB. PKB lebih bernuansakan partai nasionalis dan sedikit sekuler. Akibatnya, para CBV NU merasa kegamangan sehubungan dengan pernyataan tegas kesalehan Islam ini. Hal ini kemudian terbukti berkurangnya suara PKB sebesar 2% dari 1999 ke 2004 dan 5,66% dari 2004 ke 2009. Sepanjang 2004 ke 2009, PKB dilanda konflik elit antara kubu Abdurrahman Wahid versus Muhaimin Iskandar. Dan bukan itu saja, kerindungan kalangan Nahdliyin akan kesalehan Islam yang lebih tegas disediakan oleh sebuah partai lain: Partai Keadilan Sejahtera. Banyak di antara tokoh-tokoh NU yang cukup simpatik terhadap PKS ini (misalnya Nurmahmudi Ismail dan kawan-kawan).

    Akibatnya, para pendukung PKB (yang Nahdliyin) lekas menransformasikan diri mereka menjadi PBV dan melabuhkan suara mereka kepada PKS. Partai yang belakangan ini banyak mengelola basis-basis tradisional kalangan Nahdliyin seperti lembaga pendidikan dan masjid-masjid. Melonjaknya suara PKS dari 1999 (ketika masih PK) ke 2004 dan 2009 di antara dapat dilacak pada fenomena ini.

    Begitu para tokoh NU di dalam PKB menjadi waspada, lekas mereka lakukan reorganisasi para CBV NU. Hal ini menghasilkan suara PKB yang mulai pulih di Pileg 2014 dari 4,95% (pileg 2009) menjadi 9,04% (pileg 2014). Perolehan suara PKB di Pileg 2014 menunjukkan kecenderungan realignment ini.

    Partai Amanat Nasional. PAN sulit untuk tidak dikatakan sebagai sama sekali lepas dari ormas Muhammadiyah. Logo matahari PAN, kendati tanpa kaligrafi, adalah mirip dengan logo Muhammadiyah. Tokoh-tokoh PAN pun seperti M. Amien Rais atau Hatta Rajasa adalah bagian dari Muhammadiyah.

    Dalam sejarah politik Indonesia, Muhammadiyah adalah gerakan sosial yang fokus pada bidang pendidikan dan kesehatan. Gerakan ini menjaga diri terhadap politik kendati membebaskan para anggota untuk memilih gerbong-gerbong politik yang sesuai. Dalam aliran politik, Muhammadiyah adalah representasi kalangan modernis, dengan basis utama pencaharian selaku pedagang di kota-kota (urban). Dengan demikian, aspirasi politik kalangan ini lebih dekat kepada Masyumi (dahulu) dan reinkarnasinya Parmusi di era awal Orde Baru.

    Dengan demikian, kendati perlu lebih diteliti, pada CBV Parmusi di Pileg 1971 adalah sebagiannya berasal dari para pendukung Muhammadiyah. Suara Parmusi di Pileg 1971 sebesar 5,36%. Di Pileg 1999, PAN memeroleh suara sebesar 7,12% dan memosisikan dirinya sebagai 4 besar Pileg. Suara PAN di Pileg 1999 ini seharusnya dapat lebih bertambah apabila para pemilih Masyumi, PSII, atau PUI melabuhkan suara mereka ke partai Islam modernis ini.

    Namun, serupa seperti PKB, PAN sendiri tidak memilih bentuk tegas sebagai representasi Muhammadiyah di dalam politik nasional. Posisi ini mendorong para berkurangnya suara partai sebesar 0,71% dari 1999 ke 2004, dan sebesar 0,38% dari 2004 ke 2009. Bahkan, suara PAN naik sebesar 1,56% dari 2009 ke 2014. Jumlah suara mereka di 2014 juga dapat dikatakan naik bahkan jika diperbandingkan dengan 1999 yaitu sebesar 0,47%.

    Disalignment PAN serupa dengan yang dialami PKB di sepanjang Pileg 2004 dan 2009 kendati lebih kurang signifikan dibanding PKB. Melihat dari suara mereka sejak 1999 hingga 2014, PAN cenderung dapat memelihara CBV mereka. CBV mereka yang berubah menjadi PBV jauh lebih kecil ketimbang di kalangan PKB. Pelacakan PBV dari PAN sama seperti PKB, dapat dilacak pada munculnya PKS sebagai muara PBV partai-partai Islam.

    Partai Demokrat. PD adalah sebuah partai catch-all. Fokusnya pada pemenangan Pemilu. Partai ini tumbuh sebagian besarnya dapat dilacak pada gagalnya kepemimpinan elit di tubuh PG. Terdapat organisasi sayap dan para bekas tokoh Golkar yang ikut memerkuat PD baik di masa awal pembentukan hingga selanjutnya.

    Turunnya suara Golkar, terutama dari 2004 ke 2009, salah satunya dapat dilacak pada semakin stabilnya PD ini. Seperti diketahui sebelumnya, suara PG turun sebesar 7,17% dari 2004 ke 2009. Di sisi lain, suara PD cukup signifikan yaitu 7,46% begitu ikut Pileg 2004. Suara ini bahkan jauh naiknya dari 2004 (7,46%) menjadi 20,81% di Pileg 2009. Dari manakah suara PD berasal?

    Sesuai dengan bentuk PD yaitu sebagai catch-all party, ia memanfaatkan MV yang berkeliaran menjadi pemilih PDIP, PG, PPP, PKB, dan PAN. Signifikansi suara PD hingga 20,81% untuk kemudian "terjun bebas" secara drastis menjadi 10,19% di Pileg 2014 mengindikasikan banyaknya pemilih MV di PD. CBV PD bukanlah pemilih true believer melainkan sekadar MV yang melihat Pileg sebagai suatu kepentingan an sich. PD relatif lebih mudah mengalami disalignment ketimbang PG, dengan mana ini dapat dilihat pada perolehan suara mereka yang fluktuatifnya lebih tinggi ketimbang PG.

    PK dan PKS. Partai Keadilan (PK) adalah debutan baru di Pileg 1999. Namun, sejarah mereka adalah sejarah gerakan tarbiyah di perguruan-perguruan tinggi yang berkelindan dengan isu revivalisme Islam global. PK menawarkan kehausan kalangan Islam "santri" akan partai Islam yang lebih tegas perjuangannya dalam nuansa kesalehan agama. PK kemudian berubah nama (juga metamorfosis organisasional) di Pileg 2004 menjadi Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Di Pileg tersebut, PKS mampu menaikkan suara PK dari sekadar 1,36% di Pileg 1999 menjadi 7,20% di Pileg 2004. Dalam konteks ini, PKS tentu tidak mengalami dealigment sama sekali.

    Bahkan, suara PKS stabil-cenderung naik dari 2004 ke 2009. PKS memunculkan diri sebagai "genre" baru partai politik berbasis Islam yang lebih tegas. Dalam Pileg 2004, ketika PPP, PKB, dan PAN mengalami penurunan suara, PKS justru bertahan-cenderung naik. Juga, seperti telah dibahas sebelumnya, PKS memanfaatkan para PBV yang melingkari PPP, PKB, dan PAN. Ada kemungkinan bahwa kini, para PBV tersebut telah beralih menjadi CBV-nya PKS. Hal ini terungkap lewat suara PKS di Pileg 2014, yang kendatipun turun dari 2009 sebesar 1,10%, tetapi tidaklah signifikan. PKS tidak seperti PD yang fluktuatif dan cenderung punya MV yang besar. PKS kini siap berdiri sebagai salah satu pilihan politik umat Islam sejajar dengan PKB, PAN, dan PPP.

    Fenomena PKS sulit untuk dimasukkan ke dalam gejala disalignment melainkan realignment. Kendati dapat saja PKS mengambil para PBV di PPP, PAN, dan PKB, sesungguhnya PKS kini telah membentuk CBV mereka sendiri. CBV ini merupakan khas karena mewakili generasi baru umat Islam yang terbuka atas isu-isu Islam di level global. Selain itu, PKS cenderung memiliki CBV yang kuat di perguruan-perguruan tinggi, kalangan intelektual, dan gerakan sosial yang bersifat akar rumput. Di masa mendatang, dapat diprediksi bahwa CBV PKS akan tetap stabil apabila tidak bisa dikatakan akan menaik.

    Partai Gerakan Indonesia Raya. Partai Gerakan Indonesia Raya (PGIR) adalah partai debutan baru. Ia baru ikut Pileg pertama kali tahun 2009. Fenomena munculnya PGIR hampir mirip dengan PD. Dimotori bekas tokoh PG (Prabowo), PGIR langsung memeroleh suara 4,46% di Pileg 2009. Hasil ini cukup lumayah mengingat bahkan PKB hanya memeroleh suara 4,95% di Pileg ini.

    Secara ideologi, tentu sulit apabila dikatakan bahwa PGIR langsung memiliki CBV. Namun, dapat dilacak hilangnya suara PDIP dan PG di Pileg 2009 dapat ditelusuri ke partai ini. Prediksi suara PGIR bahkan meningkat tajam di Pileg 2014 di mana terjadi kenaikan sebesar 7,35%. Tentu saja, di Pileg 2009 ini, suara PGIR dapat dilacak pada berkurangnya secara signifikan suara PD. Karakter pemilih PD yang berupa MV mendorong mudahnya mereka untuk berpindah dari PD ke PGIR ini.

    Serupa dengan PD, PGIR mengandalkan figur tokoh partai sebagai basis pemersatu elit. Secara karakter, para pemilih PGIR ini lebih mirip dengan PDIP ketimbang PD dan PG. PGIR lebih fokus pada isu-isu populis ketimbang isu-isu pemodal kendati Prabowo (dan adiknya) adalah juga berprofesi pengusaha. Berbeda dengan PKS, mengatakan bahwa PGIR memiliki CBV masihlah terlalu dini. Berkaitan dengan PD, kemampuan PGIR menyedot suara PD salah satunya dikuatkan oleh kejenuhan para MV di tubuh PD terhadap elit PD yang memegang kuasa administrasi pemerintahan selama 10 tahun. Tokoh PGIR yaitu Prabowo muncul mengatasi kejenuhan tersebut untuk kemudian mampu tampil sebagai pemenang ke-3 Pileg 2014.

    Partai Hati Nurani Rakyat. PHNR memulai debut baru berbarengan dengan PGIR. Sama seperti PGIR, lahirnya PHNR dimotori oleh para bekas elit PG. Jika PGIR dimotori Prabowo, maka PHNR dimotori oleh Wiranto. Eksistensi PHNR memanfaatkan PBV yang ada di tubuh PG. Di Pileg 2009 di mana PHNR ikut pemilu, suara diperoleh sebesar 3,77%. Besaran ini lebih kecil ketimbang partai sejenisnya, PGIR. Suara PHNR juga menaik sebesar 1,54%. Ada kemungkinan, sama seperti PGIR, suara PHNR memanfaatkan para MV yang di Pileg 2009 memilih PD. Hal ini menjadi mungkin karena suara PG di Pileg 2014 mengalami stagnasi dari 14,45% di Pileg 2009 menjadi 14,75% di Pileg 2014.

    Juga serupa dengan PGIR agak sulit memrediksi apakah PHNR memiliki CBV ataukah sekadar MV mengingat baru kali kedua partai ini mengikuti Pileg. Pengandalan PHNR kepada seorang tokoh dirasakan akan sulit membuat partai ini memiliki CBV yang genuine.

    Partai Nasional Demokrat. PND hadir sebagai bukti kegagalan PG dalam mengohesikan elitnya. Pasca Pileg 2009, seorang elit PND yaitu Surya Paloh mendirikan gerakan Nasional Demokrat. Gerakan yang kemudian bermetamorfosis menjadi PND ini lalu ikut serta dalam Pileg 2014. Suara PND dalam debutan pertama relatif lebih sukses ketimbang PHNR dan PGIR karena langsung menyabet 6,72% suara nasional.

    Secara umum, pola yang digunakan PND dalam mengembangkan partai mirip dengan PGIR. Hanya saja, kekuatan PND disupport oleh kekuatan media yang dimiliki promotornya. PND relatif lebih mampu menjangkau para MV yang berkeliling di seputar PD. Cukup banyak kandidat yang ditawarkan PND yang awalnya merupakan para kandidat PD. Sama seperti PGIR, PND mengandalkan kejenuhan para MV di tubuh PD atas pola kepemimpinan nasional selama 10 tahun terakhir. PND hadir dengan gagasan-gagasan baru (restorasi Indonesia). Isu baru ini mendorong para MV di tubuh PD untuk menyeberangkan pilihan mereka kepada partai baru ini.


    Fenomena Realignment Partai Politik

    Peralihan CBV menjadi PBV mendorong beralihkan suara dari partai lama kepada partai baru. Fenomena ini ditunjang oleh terjadinya disalignment di tubuh partai-partai lama, terutama pada kalangan CBV-nya. Apabila CBV dinyatakan telah ada, maka itu dapat dikatakan terdapat pada partai-partai "senior" seperti PDIP, PG, PPP, PKB, PAN, dan PKS. PKS merupakan sebuah perkecualian karena partai ini secara genuine mampu membentk CBV yang cukup jelas dan sulit bagi mereka untuk bertranformasi menjadi PBV ataupun MV. Keenam partai ini, apabila mengikuti analisis pileg-pileg pasca reformasi dan sejarah politik aliran, dapat dikatakan telah membentuk CBV mereka sendiri. Persoalan utama keenam partai ini adalah melakukan pemeliharaan atas para CBV yang mereka miliki.

    Pada pihak lain, kemunculan PD, PGIR, PHNR, dan PND, untuk sementara dapat dinyatakan sebagai efek dari disalignment yang terjadi di tubuh partai-partai senior. Akan tetapi adalah sulit apabila menyatakan bahwa disalignment yang terjadi di tubuh partai senior kemudian membentuk CBV di empat partai nasionalis ini. Fenomena anjloknya PD dari 2009 ke 2014 adalah contoh kasus bahwa pemilih mereka dapat saja hanya berupa PBV ataupun MV. Melonjaknya suara PGIR dari 2009 ke 2014 juga dapat dinyatakan sebagai sekadar kejenuhan para MV di tubuh PD terhadap pilihan mereka di 2009. Demikian pula, PHNR dan PND memeroleh limpahan suara dari fenomena serupa dengan PGIR.

    Justru fenomena realignment mengalami siklus balik terhadap partai-partai senior. Misalnya, PDIP bertambah suara mereka dari 14,01% di Pileg 2009 menjadi 18,95% di Pileg 2014. Para PBV kelihatannya kembali menjadi CBV. Hal serupa juga terjadi dengan PKB, di mana terjadi "pemulihan" suara mereka dari 4,95% di Pileg 2009 menjadi 9,04% di Pileg 2014. PAN juga mengalaminya, dari 6,03% di Pileg 2009 menjadi 7,59% di Pileg 2014. Untuk kasus sedikit berbeda, PPP juga mengalami kenaikan dari 5,33% menjadi 6,53% dari 2009 ke 2014. Sejarah PPP yang cukup panjang, kendati organnya beragam, membuat PPP layak untuk dinyatakan sebagai punya CBV tersendiri berbeda dengan partai-partai berbasis Islam lainnya.

    Fenomena realignment ini hanya akan terus terjadi apabila partai-partai seperti PDIP, PG, PPP, PAN, PKB, dan PKS gagal dalam mengantisipasi sebab-sebab terjadinya disalignment partai politik. Apabila hal ini tidak mampu dicegah oleh partai-partai itu, PD, PGIR, PHNR, dan PND kemungkinan besar akan membentuk CBV mereka sendiri untuk sama sekali lepas dari partai-partai induk.

    ----------------------------

    Rujukan:

    [1] Charles M. Mack, When Political Parties Die: A Cross-National Analysis of Disalignment and Realignment (Santa Barbara: Praeger, 2010) p. 8.
    [2] ibid.

    Wednesday, January 11, 2017

    Materi Kuliah Etika Birokrasi

    Pengertian Etika & Etika Birokrasi


    Etika dapat didefinisikan sebagai pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran dan pandangan moral yang memberikan refleksi tentang bagaimana manusia harus hidup, dan bagaimana mempertanggungjawabkan perbuatannya. Sehingga etika dapat dipandang sebagai perangkat nilai atau norma moral yang berlaku dalam masyarakat.

    Oleh karenanya, keberadaan etika secara umum maupun khusus adalah inklusif dalam tatanan lingkungan sosial. Bertens (dalam Ismail, 2009:5) menjelaskan etika  sebagai nilai-nilai dan norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Ia juga menegaskan bahwa etika merupakan nilai mengenai benar dan salah yang dianut oleh sekelompok orang atau masyarakat. Berdasarkan pengertian ini, maka etika bermuara pada nilai atau tingkah laku seseorang atau sekelompok orang. 

    Etika Birokrasi
    Adapun Keraf (Ismail, 2009:5) kaitannya etika dalam birokrasi mendefenisikan etika sebagai buah refleksi kritis dan rasional mengenai nilai dan norma yang menentukan, dan lingkup wewenang memberi perintah itu secara jelas dibatasi hanya pada masalah-masalah yang berkaitan langsung dengan kegiatan resmi pemerintah.

    Pengaturan Perilaku Pemegang Jabatan Birokrasi. Kegiatan pemerintah diatur oleh suatu sistem aturan main yang abstrak. Aturan main itu merumuskan lingkup tanggungjawab para pemegang jabatan, di berbagai posisi dan hubungan diantara mereka. Aturan-aturan itu juga menjamin koordinasi berbagai tugas yang berbeda dan menjamin keseragaman pelaksanaan berbagai kegiatan tersebut.

    Impersonalitas Hubungan. Pejabat birokrasi harus memiliki orientasi impersonal. Mereka harus menghindari pertimbangan pribadi dalam hubungannya dengan atasan maupun bawahannya. Maupun dengan anggota masyarakat yang dilayaninya.

    Kemampuan Teknis. pada prinsipnya jabatan-jabatan birokratik harus diisi oleh orang-orang yang memiliki kemampuan teknis yang diperlukan untuk melaksanakan tugas-tugas dalam jabatan itu. Biasanya, kualifikasi atas para calon dilakukan dengan ujian atau berdasarkan sertifikat yang menunjukkan kemampuan mereka.

    Penjenjangan Karier. Pekerjaan dalam birokrasi pemerintah adalah pekerjaan karir. Para pejabat menduduki jabatan dalam birokrasi pemerintah melalui penunjukkan, bukan melalui pemilihan seperti legislatif atau eksekuti. Mereka jauh lebih tergantung pada atasan mereka dalam pemerintahan dari pada kepada rakyat (voter/pemilih). Pada prinsipnya, promosi atau kenaikan jenjang didasarkan pada senioritas atau prestasi, atau keduanya. Bukan atas dasar like and dislike, memang hal inipun tidak bisa dihindari realitasnya di dalam tubuh birokrasi saat ini.

    Pengertian kedua sebagaimana yang dikemukakan oleh Parkinsons, pandangan ini lebih cenderung bersifat negatif, karena birokratisasi tidak hanya diartikan sebagai pembengkakan volume birokrasi (peningkatan pegawai), tetapi juga penguatan hirarki. Pembengkakan birokrasi terjadi karena adanya kecenderungan kuat bagi setiap pegawai untuk memiliki bawahan, karena semakin banyak bawahan semakin tinggi otoritas dan prestisenya. Penguatan hierarki terjadi karena berlakunya hukum besi oligarkhi pada setiap organisasi yang semakin membengkak. Organisasi yang semakin membengkak memerlukan rentang kendali yang semakin panjang, sementara rentang kendali yang semakin panjang menempatkan sejumlah kecil orang pada posisi puncak hirarki.

    Di Indonesia kasus jumlah pegawai (PNS) dinilai terlalu banyak, sehingga sedikit saja kenaikan gaji akan berdampak langsung pada anggaran negara, bahkan perekenomian nasional. Di samping terlalu banyak, birokrasi juga dianggap tidak merata baik menurut instansi maupun wilayah. Tidak meratanya secara fungsional karena terdapat sejumlah instansi yang sangat sibuk dari pagi sampai sore, tetapi tidak jarang juga ada instansi yang tidak terlalu padat kegiatannya. Di samping itu banyaknya meja, baik secara horizontal maupun vertikal, yang harus dilalui untuk mengurus sesuatu, sehingga memerlukan waktum dan dana yang semakin banyak, penguatan hirarki juga tampak pada kelangkaan keberanian mengambil prakarsa, karena keputusan sangat tergantung pada atasan dan pada pembagian kerja, yakni yang berupa beban diserahkan ke bawahan tetapi yang menimbulkan keuntungan ditangani sendiri.

    Birokrasi yang ketiga mengandung arti perluasan kontrol birokrasi terhadap semua kehidupan masyarakat. Ekspansi kontrol birokrasi terhadap masyarakat dilakukan tidak hanya dengan mengambi alih semua urusan masyarakat yang sesungguhnya ranah swasta, tetapi juga dengan membuat regulasi (peraturan) terhadap berbagai urusan masyarakat (termasuk menyerap sumber ekonomi dari masyarakat). Begitu besar kontrol birokrasi terhadap hampir semua kehidupan masyarakat mulai dari soal perkawinan sampai pada  pada saat dikuburkan. Sehingga birokrasi digambarkan Orwell ini dilukiskan secara sarkastik sebagai “bernafas saja diatur oleh birokrasi”. Birokrasi yang ketiga ini merupakan penyakit (patologi) yang harus diberantas, kerena ternyata berhasil melumpuhkan prakarsa dan partisipasi masyarakat.

    Terkait dengan etika birokrasi, secara ideal dalam kehidupan berbangsa Indonesia sudah ada ketetapan MPR No.VI/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa yang dapat memberikan dasar pada pengejawantahan etika dalam proses kehidupan berbangsa dan bernegara. TAP MPR ini memuat hal-hal berikut :

    Etika dalam kehidupan berbangsa merupakan satu wahana dalam rangka melancarkan penyelenggaraan Sistem Administrasi Negara, dimana dengan adanya etika yang dipahami dan menjadi dasar pola perilaku dalam berbangsa dan bernegara akan mengarah pada satu tatanan kenegaraan yang stabil, karena persepsi akan perilaku yang diharapkan oleh masing-masing individu sebagai warga negara dapat teramalkan dengan baik”

    Ketetapan MPR No VI/2001 merupakan tata aturan yang cukup etis dan mengandung pelbagai norma etika yang harus diterapkan dalam alur kebangsaan Indonesia guna mewujudkan bangsa yang merdeka dan berdaulat, menjunjung tinggi moralitas bangsa, serta dapat mendorong secara emosional warga bangsa ini sebagai bangsa Indonesia. Akan tetapi, dalam realitas praksis kehidupan bangsa Indonesia, ternyata norma-norma etis tersebut seringkali hanya digunakan sebatas hiasan. Dalam pemberitaan di media baik cetak maupaun elektronik, hampir setiap hari dapat disaksikan sederat tayangan buruknya moralitas bangsa ini, mulai dari pejabat negara sampai perilaku warga negaranya.

    Hampir seluruh pelosok negeri bahkan pelosok dunia tahu, bagaimana korupnya bangsa yang dulunya dikatakan paling etis dengan adat ketimurannya itu. Hukum sudah menjadi permainan politik kelompok berduit dan berkuasa, hampir semua kasus korupsi yang terjadi di negeri ini tidak ada penyelesaian yang menunjukkan tegaknya hukum di atas kepentingan politik. Kalau memang ada penyelesaiannya pun, maka tidak ubahnya seperti sandiwara politik para penguasa negeri. Gontokan anta relit parpol menjadi tontotan yang menarik di media massa, hal tersebut juga diikuti dengan ‘perang’ antar warga partai yang merasa pemimpinnya dan golongannya paling layak hidup di wilayah Indonesia.

    Birokrasi pemerintah di satu sisi ternyata merupakan lahan ‘basah’ dari segenap perilaku yang menafikan nilai-nilai etika kebangsaan. KKN yang di masa reformasi ini menjadi target utama untuk diberantas ternyata banyak bersarang dalam struktur birokrasi pemerintahan. Para aparat birokrasi yang memiliki mentalitas korup, dengan mekanisme birokrasi yang tidak jelas dan berbelit-belit, kemudian mengorbankan kepentingan masyarakat yang seharusnya sebagai pihak yang harus mendapatkan pelayanan. Dari sinilah kemudian maka perlu adanya penguatan kembali pelaksanaan etika birokrasi dalam kinerja penyelenggaraan negara Indonesia ke depan. Berikut ini akan dideskripsikan lebih lanjut problem yang ada dalam kinerja birokrasi di Indonesia.

    Kultur Birkorasi di Indonesia


    Kultur birokrasi yang seharusnya lebih menekankan pada pelayanan publik masyarakat ternyata tidak dapat dilakukan secara efektif oleh birokrasi di Indonesia. menurut Dwiyanto (2002) secara struktural kondisi tersebut merupakan implikasi dari sistem politik Orde Baru yang menempatkan birokrasi tidak lebih dari sekedar instrumen politik kekuasaan daripada sebagai agen pelayanan publik. Sedangkan secara kultural, kondisi tersebut lebih disebabkan akar sejarah kultural feodalistik birokrasi yang mengakar dalam budaya Indonesia. Seperti masih banyak terlihat diadopsinya kultur budaya priyayi yang sangat paternalistik.

    Koentjaraningrat (1987) menganggap bahwa sebutan priyayi dalam masyarakat Jawa, khususnya menunjukkan status sosial yang sangat tinggi, bahkan cenderung sangat eksklusif. Aktualisasi dari sistem nilai (borjuis) membawa efek psikologis pada aparat birokrasi. Birokrasi beserta aparatnya cenderung mengasumsikan sebagai pihak yang harus dihormati oleh masyarakat. Menurut Dwiyanto (2002), hal ini kemudian membuat birokrasi tidak merasa berkewajiban untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat karena birokrasi bukan sebagai pelayan, melainkan justru masyarakatlah yang harus melayani dan mengerti keinginan birokrasi.

    Corak budaya agraris yang masih memiliki oleh sebagian besar masyarakat Indonesia cenderung mengembangkan budaya harmoni sosial dalam masyarakat. Dalam masyarakat yang masih berbasis pada kultur agraris tersebut sentimen komunal lebih menonjol dalam bentuk komitmen untuk menghindari konflik. Pola sikap dan perilaku birokrasi dalam masyarakat sampai saat ini terlihat masih terpengaruh oleh budaya tersebut. Sikap aparat birokrasi yang tidak berani melakukan kritik kepada atasan atau pimpinan dalam perlakuan-perlakuan birokratis yang sering merugikan kepentingannya tidak lagi menjadi sesuatu yang harus ditentang, bahkan mereka enggan menuntut hak-hak mereka untuk dilayani dalam birokrasi.

    Sentralisme birokrasi telah membentuk pola pemerintahan yang hirarkis birokratis sehingga terkesan sangat kaku dan menjadi tidak responsive terhadap tuntutan perkembangan dalam masyarakat. Birokrasi menjadi sebuah institusi yang seolah tidak mau mendengar dan melihat serta memperhatikan aspirasi masyarakat, bahkan terkesan mengabaikan kepentingan publik. Birokrasi kemudian seolah menjadi kekuatan besar yang tidak ada kekuatan lain yang mampu mengontrolnya.

    Netralisme birokrasi telah menyebabkan birokrasi menempatkan publik berada di bawah, bukannya ditempatkan sebagai mitra birokrasi yang terus dikembangkan keberadaannya dalam rangka pencapaian good governance dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Sentralisme birokrasi juga telah menumbuhkan kultur birokrasi yang terjebak dalam pengembangan kultur vertikal daripada horizontal yang lebih berorientasi pada kepentingan publik. Sentralisme birokrasi telah menyebabkan terjadinya patologi (penyakit) dalam bentuk berbagai tindak penyimpangan kekuasaan dan wewenang yang dilakukan birokrasi.

    Patologi birokrasi muncul karena norma dan nilai-nilai yang menjadi acuan bertindak birokrasi telah berorientasi ke atas, yakni kepentingan politik kekuasaan, bukan kepada publik. Berbagai kebijakan pembangunan pemerintah yang selalu ditentukan oleh pemerintah pusat menunjukkan kuatnya budaya sentralisme dalam birokrasi. Kondisi tersebut mengakibatkan birokrasi semakin kurang sensitive terhadap nilai, aspirasi dan kebutuhan, dan kepentingan masyarakat. Birokrasi menjadi kurang fleksibel sehingga kebijakan yang diterapkan kurang responsive terhadap kondisi masyarakat daerah yang memiliki masalah-masalah sosial kemasyarakatan.

    Bentuk kekuasaan yang sentralistik menimbulkan adanya kultur kekuasaan yang kaku dan berkembangnya fenomena suka atau tidak suka dalam birokrasi. Birokrasi tidak mampu untuk mengembangkan sistem kerja yang fleksibel, bahkan tidak mampu untuk mengembangkan semangat kerjasama dalam menyelenggarakan kegiatan pemerintahan dan pelayanan publik. Koordinasi menjadi sebuah kegiatan yang sangat sulit dilakukan birokrasi apabila kegiatan pelayanan publik melibatkan beberapa bidang dan instansi. Lemahnya pembentukan semangat kerja seringkali membuat aparat birokrasi enggan, atau bahkan tidak dapat mengerjakan tugas di luar tugas rutinnya, sehingga kemacetan pelayanan seringkali terjadi. Dampak dari kondisi tersebut adalah masyarakat pengguna jasa pula yang akhirnya banyak dirugikan.

    Thursday, December 29, 2016

    5 Resiko Investasi

    Didalam berinvestasi ada faktor yang penting yang harus kita perhatikan yaitu resiko. Dimana resiko ini tidak bisa dihindari didalam berinvestasi. Baik berinvestasi di Pasar Modal, Perbankan dan lain – lain, pasti ada resiko yang dihadapi. Disini akan dikemukakan apa itu resiko, jenis – jenis resiko dan resiko apa saja yang dihadapi di Pasar modal. Karena skripsi ini mengenai Pasar Modal.

    Pengertian Resiko

    Didalam investasi resiko adalah bukan hal yang baru. Karena investasi dalam bentuk apa pun mengadung resiko. Pengertian resiko dinyatakan sebagai kemungkinan keuntungan menyimpan dari yang diharapkan, karena itu resiko mempunyai dua dimensi yaitu menyimpan lebih besar maupun lebih kecil dari  yang diharapkan. Resiko merupakan variabilitas return terhadap return yang diharapakan. ( Van Horn, Waehowics; 1992)

    Pada umumya semakin tingkat resiko itu tinggi maka tingkat return nya pun tinggi. Sehingga jika para investor berani mengambil tingkat resiko yang tinggi, maka dijamin para investor akan mendapatkan tingkat pengembalian return yang besar.

    Jenis – Jenis Resiko

    Jenis resiko yang ada antara lain ;
    (1) Resiko Tidak Sistematik, juga disebut resiko yang dapat didiversifikasi yaitu bagian dari resiko sekuritas yang dapat dihilangkan dengan membentuk portofolio. Contohnya pemogokan buruh, tuntutan pihak lain, penelitian yang gagal dan lain – lain.
    (2) Resiko Sistematik, juga disebut resiko yang tidak dapat didiversifikasi yaitu bagian dari resiko yang tidak dapat dihilangkan dengan membentuk portofolio. Istilah lain dari resiko pasar atau resiko umum. Resiko ini dapat muncul karena kejadian - kejadian diluar perusahaan seperti inflasi, resesi dan lain – lain.
    (3) Resiko Total = Resiko tidak sistematik + resiko sistematik

    Resiko investasi di pasar modal

    Pada prinsip nya semata – mata berkaitan dengan kemungkinan terjadinya fluktuasi harga (price volatiliy). Resiko – resiko yang mungkin dapat dihadapi investor dalam melakukan investasi di pasar modal antara lain:

    1. Resiko Daya Beli ( Purchasing Power Risk)
    Investor mencari atau memilih jenis investasi yang memberikan keuntungan yang jumlahnya sekurang – kurangnya sama dengan investasi yang dilakukan sebelumnya. Disamping itu, investor mengharapkan memperoleh pendapatan dalam waktu yang tidak lama. Akan tetapi apabila investasi tersebut memerlukan waktu 10 tahun untuk mencapai 60% keuntungan sementara tingkat inflasi selama jangka waktu tersebut naik melebihi 100%, maka investor jelas akan menerima keuntungan yang daya beli nya jauh lebih kecil dibandingkan dengan keuntungan yang dapat diperoleh semula. Oleh terjadinya inflasi yang menyebabkan nilai rill pendapatan akan lebih kecil.

    2. Resiko Bisnis ( Business Risk )
    Resiko bisnis adalah suatu resiko menurunnya kemampuan memperoleh laba yang pada gilirannya akan mengurangi pula kemampuan perusahaan membayar imbalan atau deviden.

    3. Resiko Tingkat Bunga (Interest Rate Risk )
    Naiknya tingkat suku bunga biasanya akan menekan harga jenis surat – surat beharga yang berpendapatan tetap termasuk harga – harga saham.

    4. Resiko Pasar ( Market Risk )
    Apabila pasar bergairah (bullish) umunya hampir semua harga saham di bursa efek mengalami kenaikan. Sebaliknya apabila pasar lesu (bearish), saham – saham akan ikut pula mengalami penurunan.

    5. Resiko Likuiditas ( Liquidity Risk )
    Resiko  ini berkaitan dengan kemampuan suatu surat berharga untuk dapat segera di perjualbelikan dengan tanpa mengalami kerugiaan yang berarti.