Showing posts with label Gender dan Politik. Show all posts
Showing posts with label Gender dan Politik. Show all posts

Thursday, March 24, 2016

Ketidakadilan Gender

Gender dan Politik

Dalam bahasa sederhana, gender dipahami sebagai atribut yang dilekatkan, dikodifikasi dan dilembagakan secara sosial maupun kultural kepada perempuan atau laki-laki.[1] Gender berbeda dengan sex yang merupakan atribut yang dilekatkan secara biologis kepada laki-laki atau perempuan.
Ketidakadilan gender termanifestasi ke dalam beberapa bentuk yakni marginalisasi atau pemiskinan perempuan dalam kehidupan ekonomi, subordinasi atau penomorduaan dalam kehidupan politik, stereotype atau pelabelan negatif dalam kehidupan budaya, violence atau kekerasan dalam kehidupan sosial dan double burden atau beban ganda dalam kehidupan keluarga.[2]
Pemiskinan perempuan dalam ekonomi acapkali kita saksikan dalam kehidupan sehari-hari. Kesempatan kerja lebih terbuka bagi laki-laki ketimbang perempuan. Demikian pula penghargaan terhadap kedua makhluk ini, yang lebih sering tidak adil terhadap perempuan.
Dalam kehidupan politik, perempuan sering dianggap tidak mampu terjun dalam kehidupan politik, termasuk tidak dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan-keputusan penting. Dalam tubuh Parpol misalnya, penerimaan perempuan dalam pencalonan legislatif lebih karena memenuhi kewajiban kuota minimal yang dipersyaratkan undang-undang ketimbang itikad baik pelibatan perempuan untuk kehidupan parpol yang lebih berkualitas. Pemimpin, dalam benak banyak orang juga diasosiasikan sebagai laki-laki, sesuatu yang maskulin dan kuat ketimbang sebaliknya.
Pelabelan negatif melekat pada diri perempuan, dianggap sebagai makhluk lemah yang tidak pantas melakukan sesuatu ke arah yang lebih maju. Fungsi perempuan adalah pendamping suami, dan hanya melakukan tugas-tugas rumah tangga. Mereka tidak layak mendapat pendidikan yang tinggi karena pada akhirnya akan menjadi ibu rumah tangga.
Sedang dalam kehidupan sosial, kekerasan terhadap perempuan khususnya dalam rumah tangga sering kita temui kasusnya. Kekerasan tidak hanya berbentuk fisik, namun juga kekerasan seksual dan psikis. Pelaku adalah orang yang tidak menghargai perempuan, menganggap mereka sebagai objek yang bisa diperlakukan semena-mena. Seorang suami yang merasa istri adalah propertinya, akan melakukan apa saja untuk kebutuhannya.
Beban perempuan dalam rumah tangga semakin bertumpuk manakala posisinya sebagai ibu dan istri harus dilaksanakan secara bersamaan tanpa pembagian tugas dan peran dengan suaminya. Pada saat yang sama, dia harus merawat dan memberikan pendidikan memadai untuk anak, melayani suami luar dalam dan juga mengerjakan tugas rumah tangga yang umumnya dikategorikan  sebagai pekerjaan perempuan (mencuci baju, piring, memasak, membersihkan rumah dan lain sebagainya). 




[1] Moh. Yasir Alimi, Jenis Kelamin Tuhan Lintas Batas Tafsir Agama. LKiS, Yogyakarta, Tahun 2001
[2] Mansour Faqih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1998.

Sunday, March 13, 2016

Peran Perempuan dalam Politik Menurut Islam

Dalam pandangan Islam perempuan adalah makhluk Tuhan, sama seperti laki-laki. Sebagai hamba Tuhan perempuan juga memiliki tanggungjawab kemanusiaan yaitu memakmurkan bumi dan mensejahterakan manusia. Dalam menjalankan tugas-tugasnya tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Tuhan memberikan laki-laki dan perempuan potensi atau kemampuan untuk bertindak secara otonom yang diperlukan bagi tanggungjawab menunaikan amanah tersebut. Di samping itu Islam juga mengharuskan laki-laki dan perempuan bekerjasama untuk mengatur dunia yaitu menghapus keruskan sosial.[1] Keberadaan keduanya di tengah-tengah masyarakat tidak dapat dipisahkan satu sama lain, bahkan merupakan satu kesatuan yang utuh dalam masyarakat.

Pandangan ISlam Tentang Aktivitas Politik Perempuan


Islam memandang bahwa keberadaan perempuan sebagai bagian dari masyarakat menjadikan mereka juga memiliki kewajiban yang sama untuk mewujudkan kesadaran politik pada diri mereka serta masyarakat umum. Akan tetapi pengertian politik dalam konsep Islam tidak terbatasi pada masalah kekuasaan dan legislasi saja, melainkan meliputi pemeliharaan seluruh umat manusia.

Hak politik perempuan adalah hak ikut menangani masalah Negara baik secara langsung maupun tidak langsung. Di dalam Al-qur’an tidak ditemukan satu ayat pun yang melarang perempuan untuk aktif di dalam kegiatan perpolitikan termasuk menjadi pemimpin tertinggi. Islam telah memberikan ruang pilihan bagi perempuan juga laki-laki untuk menjalani peran-peran politik domestik maupun publik, untuk menjadi cerdas danterampil.[2]

Perempuan dalam Islam tidak dibatasi ruang geraknya hanya pada sektor domestik rumah tangga, melainkan dipersilahkan aktif di sektor publik, termasuk bidang iptek, ekonomi, sosial, ketenagakerjaan, HAM dan politik. Akan tetapi, Islam menggarisbawahi bahwa keaktifannya itu tidak sampai menjerumuskan dirinya ke luar batas-batas moral yang digariskan agama.[3] Selain itu Islam mengakui hak-hak politik perempuan ketika dia juga bisa mengurus keluarga ataupun rumah tangganya. Diantara hak-hak politik perempuan yang diberikan Islam adalah hak untuk ikut serta berperan aktif dalam berbagai kehidupan termasuk di dalamnya hak untuk berbicara dan mengeluarkan pendapat.

Hak ini dapat dipahami dari ayat al-Qur’an yang memerintahkan kepada kaum Muslim untuk bermusyawarah dalam memecahkan segala urusan mereka. Seperti yang tercantum dalam Q.S. al-Syura/ 42: 38 yang berbunyi:

و الذين استجا بوا لربهم واقا مواالصلوة صلى وامرهم شو رى بينهم صلى و مما رزقنهم ينفقو ن (38)[4]

Menurut ayat tersebut, secara implisit dapat dibahami bahwa perempuan diberikan kebebasan yang sama dengan laki-laki tanpa perbedaan untuk memberikan pendapat, saran ataupun kritik dalam bentuk apapun untuk menyelesaikan masalah guna menciptakan suatu masyarakat yang baik.

Keterlibatan perempuan secara langsung dalam segala bidang kehidupan telah terlihat pada perkembangan sejarah umat Islam hingga pada zaman sekarang ini. Hak dan kedudukan perempuan sudah mendapat tempat sepatutnya semenjak Islam datang. Sejarah telah mencatat bahwa kaum perempuan di masa Rasulullah SAW digambarkan sebagai perempuan yang aktif, sopan, dan terpelihara akhlaknya. Bahkan dalam al-Qur’an, figur ideal seorang muslimah disimbolkan sebagai pribadi yang memiliki kemandirian politik, seperti figur ratu Bulqis yang memimpin kerajaan superpower (‘arsyun ‘azhim).[5]Cerita tersebut merupakan ibarat yang menunjukkan wanita juga mampu atau dapat menjalankan roda kepemimpinan dengan baik, tidak kalah dengan laki-laki.

Pada masa Rasulullah ditemukan sejumlah perempuan yang memiliki kemampuan intelektual dan prestasi sosial yang cemerlang samahalnya dengan yang telah diraih kaum laki-laki, seperti para istri Rasul. Dalam jaminan al-Qur’an, perempuan dengan leluasa memasuki semua sektor kehidupan masyarakat termasuk politik, ekonomi, dan berbagai sektor publik lainnya.[6]

Sejarah kenabian mencatat sejumlah besar perempuan yang ikut memainkan peran-peran bersama kaum laki-laki. Khadijah, Aisyah, Ummu Salamah, dan para istri nabi yang lain, Fatimah (anak), Zainab (Cucu), dan Sukainah (cicit). Mereka sering terlibat dalam diskusi tentang tema-tema sosial politik bahkan mengkritik kebijakan-kebijakan domestic maupun public yang patriarkis. Perempuan juga muncul dalam sejumlah “baiat” (perjantian, kontrak) untuk kesetiaan dan loyalitas kepada pemerintahan. Sejumlah perempuan sahabat nabi ikut bersama laki-laki dalam perjuangan bersenjata melawan penindasan dan ketidakadilan.

Melalui pembahasan di atas dapat diketahui bahwa Islam tidak pernah dan tidak akan memasung perempuan untuk berkiprah dalam segala bidang kehidupan, termasuk dalam bidang politik sekalipun, sepanjang tidak melanggar fitrahnya sebagai seorang perempuan sekaligus ibu rumah tangga dan norma-norma Islam yang sudah sangat jelas. Yang artinya, bahwa tidak ada perbedaan antara laki-laki maupun perempuan di dalam Islam.



[1] Nuruzzaman, dkk, Islam Agama Ramah Perempuan Pembelaan Kiai Pesantren, (Yogyakarta: LKIS, 2004), hlm. 166.
[2] Nuruzzaman, dkk, Islam Agama Ramah Perempuan Pembelaan Kiai Pesantren, (Yogyakarta: LKIS, 2004), hlm. 166.
[3]Badriyah Fayumi, dkk, Keadilan dan Kesetaraan Gender (Perspektif Islam), (Jakarta: Tim Pemberdayaan Perempuan Bidang Agama Departemen Agama RI, 2001), hlm. 43.
[4] Al-Syura (42): 38.
[5]Badriyah Fayumi, dkk, Keadilan dan Kesetaraan Gender (Perspektif Islam), (Jakarta: Tim Pemberdayaan Perempuan Bidang Agama Departemen Agama RI, 2001), hlm. 42.
[6]Ibid.,hlm. 42.